Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.
Q.S. Ali-`Imran: 185
“Kalau sekiranya kamu dapat melihat malaikat-malaikat mencabut nyawa orang-orang yang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka serta berkata, “Rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar.” (niscaya kamu akan merasa sangat ngeri)
(QS. Al-Anfaal : 50).
“Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya (sambil berkata), “Keluarkanlah nyawamu !” Pada hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Alloh (perkataan) yang tidak benar dan kerena kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya”.
(QS. Al- An’am : 93).
Kedahsyatan Saat Menjelang Maut
Ketahuilah bahwa seandainya di hadapan manusia yang malang itu tidak ada teror, malapetaka ataupun siksaan kecuali sakratul maut saja, maka itu sudah cukup untuk menyusahkan hidupnya, menghalangi kegembiraannya, dan mengusir kealpaan maupun kelengahannya. Seharusnya dia senantiasa memikirkan hal ini dan meningkatkan perhatian dalam mempersiapkan diri untuk menghadapinya, apalagi karena setiap saat dia berada di dalam genggamannya.
Sebagaimana pernah dikatakan oleh seorang filsuf, “Malapetaka di tangan orang lain tak bisa diramalkan”. Dan Luqman a.s pernah berkata kepada anaknya, “Wahai, anakku. Jika ada sesuatu yang tak bisa kau pastikan bila dia datang, maka persiapkan dirimu untuk menghadapinya sebelum dia mendatangimu sedangkan engkau dalam keadaan lengah.”
Yang mengherankan adalah bahwa seringkali seorang manusia, meskipun dia tengah menikmati hiburan atau berada di tempat yang paling menyenangkan, akan merasakan cemas dengan kemungkinan kedatangan seorang “tentara” yang akan menyerangnya. Karena rasa cemas itu, kenyamanannya pun merasa terganggu dan napasnya terasa sesak. Akan tetapi, dia lalai akan keadaannya yang setiap saat bisa didatangi oleh malaikat maut yang akan menimpakan ke atas dirinya derita pencabutan nyawa. Tak ada lagi sebab bagi kelalaian seperti ini kecuali sikap “masa bodoh” dan keteperdayaan.
Ketahuilah bahwa ke-luarbiasa-an rasa sakit dalam sakratul maut tak dapat diketahui dengan pasti kecuali oleh orang yang telah merasakannya. Sedangkan orang yang belum pernah merasakannya hanya bisa mengetahuinya dengan cara menganalogikannya dengan rasa sakit yang benar-benar pernah dialaminya, atau dengan cara mengamati orang lain yang sedang berada dalam keadaan sakratul maut. Lewat jalan analogi, yang akan membuktikannya derita sakratul maut, akan diketahui bahwa setiap anggota badan yang sudah tidak bernyawa tidak lagi bisa merasakan sakit.
Jika ada jiwa, maka serapan rasa sakit itu tentulah berasal dari aktivitas jiwa. Dan ketika ada anggota tubuh yang terluka atau terbakar, maka pengaruhnya akan menjalar kepada jiwa. Dan sesuai dengan kadar yang menjalar ke jiwa, maka sebesar itu pula rasa sakit yang dialami oleh seseorang. Derita rasa sakit itu terpisah dari daging, darah, dan semua anggota tubuh yang lain. Tak ada yang bisa mencederai jiwa kecuali penyakit-penyakit tertentu. Jika salah satu dari sekian banyak penyakit langsung mengenai jiwa dan tidak berpencar ke bagian-bagian yang lain, maka betapa pedih dan kerasnya rasa sakit itu.
Sakratul maut adalah ungkapan tentang rasa sakit yang menyerang inti jiwa dan menjalar ke seluruh bagian jiwa, sehingga tak ada lagi satupun bagian jiwa yang terbebas dari rasa sakit itu. Rasa sakit tertusuk duri misalnya, menjalar pada bagian jiwa yang terletak pada anggota badan yang tertusuk duri.
Sedangkan pengaruh luka bakar lebih luas karena bagian-bagian api menyebar ke bagian-bagian tubuh lain sehingga tidak ada bagian dalam ataupun luar anggota tubuh yang tidak terbakar, dan efek terbakar itu dirasakan oleh bagian-bagian jiwa yang mengalir pada semua bagian daging.
Adapun luka tersayat pisau hanya akan menimpa bagian tubuh yang terkena, dan karena itulah rasa sakit yang diakibatkan oleh luka tersayat pisau lebih ringan daripada luka bakar.
Akan tetapi rasa sakit yang dirasakan selama sakratul maut menghujam jiwa dan menyebar ke seluruh anggota badan, sehingga pada orang yang sedang sekarat merasakan dirinya ditarik-tarik dan dicerabut dari setiap urat nadi, urat saraf, persendian, dari setiap akar rambut, kulit kepala sampai ke ujung jari kaki. Jadi, jangan anda tanyakan lagi tentang derita dan rasa sakit yang tengah dialaminya.
Karena alasan inilah dikatakan bahwa : “Maut lebih menyakitkan daripada tusukan pedang, gergaji atau sayatan gunting”. Karena rasa sakit yang diakibatkan oleh tusukan pedang terjadi melalui asosiasi bagian tubuh yang tertusuk dengan ruh, maka betapa sangat sakitnya jika luka itu langsung dirasakan oleh jiwa itu sendiri!.
Orang yang ditusuk bisa berteriak kesakitan karena masih adanya sisa tenaga dalam hati dan lidahnya. Sedangkan suara dan jeritan orang yang sekarat, terputus karena rasa sakit yang amat sangat dan rasa sakit itu telah memuncak sehingga tenaga menjadi hilang, semua anggota tubuh melemah, dan sama sekali tak ada lagi daya untuk berteriak meminta pertolongan.
Rasa sakit itu telah melumpuhkan akalnya, membungkam lidahnya, dan melemahkan semua raganya. Dia ingin sekali meratap, berteriak, dan menjerit meminta tolong, namun dia tak kuasa lagi melakukan itu. Satu-satunya tenaga yang masih tersisa hanyalah suara lenguhan dan gemeretak yang terdengar pada saat ruhnya dicabut.
Warna kulitnya pun berubah menjadi keabu-abuan menyerupai tanah liat, tanah yang menjadi sumber asal-usulnya. Setiap pembuluh darah dicerabut bersamaan dengan menyebarnya rasa pedih ke seluruh permukaan dan bagian dalamnya, sehingga bola matanya terbelalak ke atas kelopaknya, bibirnya tertarik ke belakang, lidahnya mengerut, kedua buah zakar naik, dan ujung jemari berubah warna menjadi hitam kehijauan.
Jadi, jangan lagi anda tanyakan bagaimana keadaan tubuh yang seluruh pembuluh darahnya dicerabut, sebab satu saja pembuluh darah itu ditarik, rasa sakitnya sudah tak kepalang. Jadi, bagaimanakah rasanya jika yang dicabut itu adalah ruh, tidak hanya dari satu pembuluh, tetapi dari semuanya?…
Kemudian satu per satu anggota tubuhnya akan mati. Mula-mula telapak kakinya menjadi dingin, kemudian betis dan pahanya. Setiap anggota badan merasakan sekarat demi sekarat, penderitaan demi penderitaan, dan itu terus terjadi hingga ruhnya mencapai kerongkongannya. Pada titik ini berhentilah perhatiannya kepada dunia dan manusia-manusia yang ada didalamnya. Pintu taubat ditutup dan diapun diliputi oleh rasa sedih dan penyesalan.
Rasulullah SAW bersabda : “Taubat seorang manusia tetap diterima selama dia belum sampai pada sakratul maut.” (Hakim, IV.257).
Mujahid mengatakan [dalam menafsirkan] Firman Allah SWT, ‘Taubat bukanlah untuk mereka yang berbuat jahat, dan kemudian manakala maut telah datang kepada salah seorang di antara mereka, dia berkata : “Sekarang aku bertaubat.” (Q.S. An-Nisaa, 4 : 18), yakni ketika dia melihat datangnya utusan-utusan maut (yakni para malaikat maut)’. Pada saat ini, wajah malaikat maut muncul di hadapannya. Janganlah Anda bertanya tentang pahit dan getirnya kematian ketika terjadi sakratul maut!. Karena itulah Rasulullah SAW bersabda : “Ya Allah Tuhanku, ringankanlah sakratul maut bagi Muhammad.” (Ibn Majah, Janaa’iz, 64).
Sesungguhnya sebab manusia tidak memohon perlindungan darinya dan tidak memandangnya dengan penuh rasa gentar adalah karena kebodohan mereka. Ini dikarenakan banyak hal yang belum pernah terjadi hanya bisa diketahui melalui cahaya kenabian dan kewalian. Itulah sebabnya para nabi alaihimussalaam dan para wali senantiasa berada dalam keadaan takut kepada maut. Bahkan Isa a.s bersabda, “Wahai, para sahabat. Berdoalah kepada Allah SWT agar DIA meringankan sekarat ini bagiku. Sebab rasa takutku kepadanya setiap saat justru bisa menyeretku ke tepi jurangnya.”
Diriwayatkan pada suatu ketika sekelompok Bani Israil berjalan melewati pekuburan, dan salah seorang di antara mereka berkata kepada yang lain, “Bagaimana jika kalian berdoa kepada Allah SWT agar DIA menghidupkan satu mayat dari pekuburan ini dan kalian bisa mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya?” Mereka pun lalu berdoa kepada Allah SWT. Tiba-tiba mereka berhadapan dengan seorang laki-laki dengan tanda-tanda sujud di antara kedua matanya yang muncul dari salah satu kuburan itu. “Wahai, manusia. Apa yang kalian kehendaki dariku? Lima puluh tahun yang lalu aku mengalami kematian, namun kini rasa pedihnya belum juga hilang dari hatiku!”.
Aisyah r.a berkata, “Aku tidak iri kepada seorangpun yang dimudahkan sakratul maut atasnya setelah aku menyaksikan gejolak sakratul maut pada diri Rasulullah SAW.”
Diriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah bersabda, “Ya Allah, sesungguhnya engkau telah mencabut nyawa dari urat-urat, tulang hidung dan ujung-ujung jari. Ya Allah, tolonglah aku dalam kematian, dan ringankanlah dia atas diriku.” (Ibn Abi’l-Dunya, K. Al-Maut, Zabiidii, X.260).
Diriwayatkan dari Al-Hasan bahwa suatu ketika Rasulullah SAW menyebut-nyebut kematian, cekikan, dan rasa pedih. Beliau bersabda, “Sakitnya sama dengan tiga ratus tusukan pedang.” (Ibn Abi’l-Dunya, K. Al-Maut, Zabiidii, X.260).
Suatu ketika Beliau SAW pernah ditanya tentang pedihnya kematian. Dan Beliau menjawab, “Kematian yang paling mudah ialah serupa dengan sebatang pohon duri yang menancap di selembar kain sutera. Apakah batang pohon duri itu dapat diambil tanpa membawa serta bagian kain sutra yang terkoyak?” (Ibn Abi’l-Dunya, K. Al-Maut, Zabiidii, X.260).
Suatu ketika Beliau menjenguk seseorang yang sedang sakit, dan beliau bersabda, “Aku tahu apa yang sedang dialaminya. Tak ada satu pembuluhpun yang tidak merasakan pedihnya derita kematian.” (Al Bazzar, Al-Musnad, Haitsami, Majma`, II.322).
Ali k.w biasa membangkitkan semangat tempur orang banyak dengan berkata, “Apakah kalian semua tidak akan berperang dan lebih memilih mati dengan (cara biasa)? Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, tusukan seribu pedang adalah lebih ringan atasku daripada mati di tempat tidur.”
Al-Auzaa`i berkata, “Telah disampaikan kepada kami bahwa orang mati itu terus merasakan sakitnya kematian sampai dia dibangkitkan dari kuburnya.”
Syaddad bin Aus berkata, “Kematian adalah penderitaan yang paling menakutkan yang dialami oleh seorang yang beriman di dunia ini atau di akhirat nanti. Ia lebih menyakitkan daripada dipotong-potong dengan gergaji, disayat dengan gunting, atau digodok dalam belanga. Seandainya seseorang yang sudah mati bisa dihidupkan kembali untuk menceritakan kepada manusia di dunia ini tentang kematian, niscaya mereka tidak mempunyai gairah hidup dan tidak akan bisa merasakan nikmatnya tidur.”
Zaid bin Aslam meriwayatkan bahwa suatu ketika ayahnya berkata, “Jika bagi seorang beriman masih ada derajat tertentu (maqam) yang belum berhasil dicapainya melalui amal perbuatannya, maka kematian dijadikan sangat berat dan menyakitkan agar dia bisa mencapai kesempurnaan derajatnya di surga. Sebaliknya, jika seorang kafir mempunyai amal baik yang belum memperoleh balasan, maka kematian akan dijadikan ringan atas dirinya sebagai balasan atas kebaikannya dan dia nanti akan langsung mengambil tempatnya di neraka.”
Diriwayatkan bahwa ada seseorang yang gemar bertanya kepada sejumlah besar orang sakit mengenai bagaimana mereka mendapati (datangnya) maut. Dan ketika (pada gilirannya) dia jatuh sakit, dia ditanya, “Dan engkau sendiri, bagaimana engkau mendapatinya?” Dia menjawab, “Seakan-akan langit runtuh ke bumi dan ruhku ditarik melalui lubang jarum.”
Dan Nabi SAW berkata, “Kematian yang tiba-tiba adalah rahmat bagi orang yang beriman, dan nestapa bagi pendosa.” (Abu Daud, Janaa’iz, 10).
Diriwayatkan dari Makhul bahwa Nabi SAW bersabda, “Seandainya seutas rambut dari orang yang sudah mati diletakkan di atas para penghuni langit dan bumi, niscaya dengan izin Allah SWT mereka akan mati karena maut berada di setiap utas rambut, dan tidak pernah jatuh pada sesuatupun tanpa membinasakannya.” (Ibn Abi’l Dunya, K. Al-Maut, Zabiidii, X.262).
Diriwayatkan bahwa ‘Seandainya setetes dari rasa sakitnya kematian diletakkan di atas semua gunung di bumi, niscaya gunung-gunung itu akan meleleh.’
Diriwayatkan bahwa ketika Ibrahim a.s meninggal dunia, Allah SWWT bertanya kepadanya, “Bagaimanakah engkau merasakan kematian, wahai teman-Ku?” dan beliau menjawab, “Seperti sebuah pengait yang dimasukkan ke dalam gumpalan bulu yang basah, kemudian ditarik.” “Yang seperti itu sudah Kami ringankan atas dirimu”, Firman-Nya.
Diriwayatkan tentang Musa a.s bahwa ketika ruhnya akan menuju ke hadirat Allah SWT, DIA bertanya kepadanya, “Wahai Musa, bagaimana engkau merasakan kematian?” Musa menjawab, “Kurasakan diriku seperti seekor burung yang dipanggang hidup-hidup, tak mati untuk terbebas dari rasa sakit dan tak bisa terbang untuk menyelamatkan diri.” Diriwayatkan juga bahwa dia berkata, “Kudapati diriku seperti seekor domba yang dipanggang hidup-hidup.”
Diriwayatkan bahwa ketika Nabi SAW berada di ambang kematian, di dekat Beliau ada seember air yang ke dalamnya Beliau memasukkan tangan untuk membasuh mukanya seraya berdoa, “Wahai Tuhanku, ringankanlah bagiku sakratul maut!” (Bukhari, “Riqaq”, 42). Pada saat yang sama, Fathimah r.a berkata, “Alangkah berat penderitaanku melihat penderitaanmu, Ayah.” Tetapi Beliau berkata, “Tidak akan ada lagi penderitaan ayahmu sesudah hari ini.” (Ibn Majah, Janaa’iz, 45).
Umar r.a berkata kepada Ka`b Al-Ahbar, “Wahai Ka`b, berbicaralah kepada kami tentang kematian!” “Baik, wahai Amirul Mu’minin,” jawabnya. “Kematian adalah sebatang pohon berduri yang dimasukkan ke dalam perut seseorang. Kemudian seorang laki-laki menariknya dengan sekuat-kuatnya, maka ranting itu pun membawa serta semua yang terbawa dan meninggalkan yang tersisa.”
Nabi SAW bersabda, “Manusia pasti akan merasakan derita dan rasa sakit kematian, dan sesungguhnya sendi-sendinya akan mengucapkan selamat tinggal satu sama lain seraya berkata, “Sejahteralah atasmu, sekarang kita saling berpisah hingga datang hari kiamat.”” (Qusyairi, Risalah, II.589)
Itulah sakratul maut yang dirasakan oleh para Wali Allah dan hamba-hamba yang dikasihi-Nya. Lalu bagaimanakah nanti yang akan kita rasakan nanti, padahal kita selalu bergelimang dalam perbuatan dosa?
Bersamaan dengan sakratul maut berturut-turut datang pula tiga macam petaka.
Petaka yang pertama adalah kedahsyatan peristiwa dicabutnya ruh, seperti yang telah dijelaskan. Petaka yang kedua adalah menyaksikan wujud malaikat maut dan timbulnya rasa takut di dalam hati. Manusia yang paling kuat sekalipun, tak akan sanggup melihat wujud malaikat maut saat menjalankan tugasnya untuk mencabut nyawa manusia yang penuh dosa.
Diriwayatkan bahwa suatu ketika Ibrahim a.s, sahabat Allah, bertanya kepada malaikat maut, “Dapatkah engkau memperlihatkan rupamu ketika mencabut nyawa manusia yang gemar melakukan perbuatan jahat?”. Malaikat menjawab, “Engkau tidak akan sanggup.” “Aku pasti sanggup,” jawab beliau. “Baiklah,” kata sang malaikat. “Berpalinglah dariku.” Ibrahim a.s pun berpaling darinya. Kemudian ketika beliau berbalik kembali, maka yang ada di hadapannya adalah seorang berkulit legam dengan rambut berdiri, berbau ‘busuk’ dan mengenakan pakaian berwarna hitam. Dari mulut dan lubang hidungnya keluar jilatan api.
Melihat pemandangan itu, Ibrahim a.s pun jatuh pingsan, dan ketika beliau sadar kembali, malaikat telah berubah dalam wujud semula. Beliau pun berkata, “Wahai, malaikat maut! Seandainya seorang pelaku kejahatan pada saat kematiannya tidak menghadapi sesuatu yang lain kecuali wajahmu, niscaya cukuplah itu sebagai hukuman atas dirinya.”
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda, “Daud a.s adalah seorang manusia yang telaten (sangat peduli) terhadap istrinya dan akan mengunci semua pintu jika dia bermaksud meninggalkan rumahnya. Suatu hari, setelah beliau mengunci semua pintu dan pergi keluar rumah, istrinya masih mendapati seorang laki-laki di dalam rumahnya. “Siapa yang mengizinkan laki-laki ini masuk?” tanyanya dalam hati. “Seandainya Daud pulang, ia pasti akan marah.”
Ketika Daud a.s pulang dan melihat laki-laki itu, beliau bertanya, “Siapa engkau?” Laki-laki itu menjawab, “Aku yang tidak takut kepada raja dan tidak pernah bisa dihalangi oleh pengawal raja”. “Jadi, engkau adalah malaikat maut”, kata Daud a.s. Dan di tempat itu jugalah beliau wafat.”
Diriwayatkan bahwa suatu ketika Isa a.s berjalan melewati sebuah tengkorak. Kemudian beliau menyentuh tengkorak itu dan berkata, “Berbicaralah, dengan izin Allah”. Tengkorak itu pun berkata, “Wahai, Ruh Allah! Aku adalah seorang raja yang berkuasa di suatu zaman. Suatu hari ketika aku duduk di atas singgasana dengan mengenakan mahkotaku dan dikelilingi oleh para menteriku, tiba-tiba muncul malaikat maut di hadapanku sehingga seluruh anggota badanku menjadi beku, dan nyawaku kembali ke hadirat-Nya. Ah, seandainya tak pernah ada saat perpisahan dengan orang-orang di sekelilingku, seandainya tak ada pemutus segala kegembiraanku.”
Ini adalah petaka yang menimpa para pendosa dan berhasil dihindari oleh orang-orang yang taat. Sesungguhnya, para nabi telah menceritakan sakratul maut selain kengerian yang dirasakan oleh orang yang melihat wujud malaikat maut. Bahkan seandainya seseorang hanya melihatnya dalam mimpi saja, niscaya dia tidak akan pernah merasakan lagi kegembiraan sepanjang hidupnya. Lalu, bagaimana pula jika orang secara sadar melihatnya dalam bentuk seperti itu?
Namun, manusia yang bertaqwa akan melihatnya (malaikat maut) dalam rupa yang bagus dan indah. Ikrimah (putra shalih dari Abu Jahal, red.) telah meriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa Ibrahim a.s adalah seorang manusia yang penuh perhatian. Beliau mempunyai rumah untuk beribadah dan selalu dikuncinya jika dia pergi.
Pada suatu hari ketika pulang ke rumah, beliau melihat ada seorang laki-laki di dalamnya. “Siapa yang mengizinkanmu masuk ke dalam rumahku?” tanya beliau. Orang itu menjawab, “Aku diizinkan masuk oleh Pemiliknya”. “Tapi akulah pemilik rumah ini,” kata Ibrahim a.s. Orang itu berkata, “Aku diizinkan masuk oleh DIA yang lebih berhak atas rumah ini daripada engkau ataupun aku.” “Kalau begitu, malaikat apakah engkau ini?” tanya beliau. “Aku adalah malaikat maut,” demikian orang itu menjawab.
Ibrahim a.s lalu bertanya, “Dapatkah engkau memperlihatkan kepadaku rupamu ketika mencabut nyawa orang yang beriman (taat)?” “Tentu saja,” kata Malaikat itu. “Berpalinglah dariku.”
Ibrahim pun berpaling, dan ketika berbalik kembali ke arah malaikat itu, maka berdiri di hadapannya seorang pemuda gagah dan tampan, berpakaian indah dan menyebarkan bau harum mewangi. “Wahai, malaikat maut! Seandainya orang yang beriman, taat, melihat rupamu pada saat kematian, niscaya cukuplah itu sebagai imbalan atas amal baiknya,” kata beliau.
Petaka selanjutnya adalah melihat kedua malaikat pencatat amal. (Menurut hadits yang dinisbatkan kepada Nabi, “Allah telah mengamanatkan hamba-Nya kepada dua malaikat yang mencatat amal-amalnya, baik dan buruk.” — Ahmad bin Mani`, Al-Musnad ; Ibn Hajar, Mathaalib, III.56).
Wuhaib mengatakan, ‘Telah disampaikan kepada kami bahwa tak seorangpun manusia yang mati kecuali akan diperlihatkan kepadanya dua malaikat yang bertugas mencatat amalnya. Jika dia seorang yang shalih, maka kedua malaikat itu akan berkata, “Semoga Allah memberikan balasan yang baik kepadamu, sebab engkau telah menyatakan kami untuk duduk di tengah-tengah kebaikan, dan membawa kami hadir menyaksikan banyak perbuatan baikmu”. Akan tetapi jika dia adalah seorang pelaku kejahatan, maka mereka akan berkata kepadanya, “Semoga Allah tidak memberimu balasan yang baik sebab engkau telah hadirkan kami ke tengah-tengah perbuatan yang keji, dan membuat kami hadir menyaksikan banyak perbuatan buruk, memaksa kami mendengarkan ucapan-ucapan buruk. Semoga Allah tidak memberimu balasan yang baik”. Ketika itulah orang yang sekarat itu menatap lesu ke arah kedua malaikat itu dan selamanya dia tidak akan pernah kembali ke dunia ini lagi’.
Petaka yang ketiga dialami pada saat manusia-manusia yang berdosa menyaksikan tempat mereka di neraka, dan rasa takut juga telah mencekam mereka sebelum mereka menyaksikan peristiwa itu. Hal ini karena ketika mereka berada dalam sakratul maut, tenaga mereka telah hilang sementara ruh mereka mulai merayap keluar dari jasad mereka. Akan tetapi, ruh mereka tidaklah keluar kecuali setelah mereka mendengar suara malaikat maut menyampaikan salah satu dari dua kabar. Kabar tersebut berupa, “Rasakanlah, wahai musuh Allah, siksaan neraka!” atau “Bergembiralah, wahai sahabat Allah, dengan surga!”. Dari sinilah timbul rasa takut di dalam hati orang-orang yang tak ber’aql (tidak menggunakan akal, red).
Nabi SAW bersabda, “Tak seorangpun di antara kalian yang akan meninggalkan dunia ini kecuali telah diberikan tempat kembalinya dan diperlihatkan kepadanya tempatnya di surga atau di neraka.” (Ibn Abi`l-Dunya, K. Al-Maut ; Zabiidii, X.262).
Rasulullah SAW juga bersabda, “Barangsiapa mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun akan senang bertemu dengannya; dan barangsiapa membenci pertemuan dengan-Nya, maka DIA pun tidak akan senang bertemu dengannya.” “Tetapi kami semua takut pada kematian,” para sahabat berkata. Beliau pun menjawab, “Tidaklah sama sebab ketika penderitaan yang dijumpai oleh orang yang beriman (taat) dalam menempuh perjalanan menuju Allah telah dihilangkan, maka dia akan gembira bertemu dengan Allah, dan Allah pun gembira bertemu dengannya.” (Muslim, Dzikr, 15).
Diriwayatkan pada suatu saat menjelang akhir malam, Hudzaifah bin Al-Yaman berkata kepada Ibn Mas`ud, “Bangunlah, dan lihatlah waktu apa sekarang.” Ibn Mas`ud pun bangun dan melakukan hal yang diperintahkan kepadanya, dan ketika dia kembali, dia berkata, “Langit telah memerah.” Hudzaifah kemudian berkata, “Aku berlindung kepada-Mu dari perjalanan pagi menuju neraka.”
Suatu ketika, Marwan menemui Abu Hurairah dan berkata, “Ya Allah, ringankanlah bebannya.” Tetapi Abu Hurairah menyahut, “Ya Allah, perberatlah.” Lalu dia mulai menangis seraya berkata, “Demi Allah, aku tidaklah menangis karena sedih kehilangan dunia ini, tidak pula bersedih karena berpisah dengan kalian; tapi aku sedang menanti salah satu di antara dua kabar dari Tuhanku: apakah kabar neraka ataukah kabar surga.”
Diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda, “Jika Allah Swt ridha terhadap hamba-Nya, maka DIA akan berfirman, ‘Wahai Malaikat Maut, pergilah kepada si fulan dan bawalah kepada-Ku ruhnya untuk Kuanugerahi kebahagiaan. Amalnya Kupandang telah mencukupi: Aku telah mengujinya dan mendapatinya seperti yang Kuinginkan’. Malaikat itupun turun bersama lima ribu malaikat lain. Semuanya membawa tongkat yang terbuat dari kayu manis dan akar-akar tanaman safron, setiap malaikat itu menyampaikan pesan dari Tuhannya. Kemudian para malaikat itu membentuk dua barisan untuk mempersiapkan keberangkatan ruhnya. Ketika setan melihat mereka, dia meletakkan tangannya di atas kepalanya dan menjerit keras-keras. Para bala tentaranya bertanya, ‘Ada apa, tuanku ?’ Dia menjawab, ‘Tidakkah kamu lihat kehormatan yang telah diberikan kepada manusia ini? Apakah kalian tidak melakukan tugas kalian terhadap manusia ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami telah berusaha sekeras-kerasnya terhadapnya, tetapi dia tak bisa dipengaruhi.’ ” (Ibn Abi`l-Dunya, K. Al-Maut; Zabiidii, X.267).
Al-Hasan berkata, “Tidak ada kebahagiaan bagi orang beriman kecuali dalam perjumpaannya dengan Allah, dan barangsiapa dianugerahi perjumpaan tersebut, maka hari kematiannya adalah hari kegembiraan, kebahagiaan, keamanan, kejayaan, dan kehormatan.”
Menjelang ajalnya, Jabir bin Zaid ditanya apakah ada sesuatu yang diinginkannya, dan dia menjawab, “Aku ingin menatap wajah Al-Hasan.” Ketika Al-Hasan datang menjenguknya, kepadanya dikatakan, “Inilah Al-Hasan.” Jabir lalu membuka matanya untuk memandang Al-Hasan dan berkata, “Wahai, saudaraku. Saat ini, demi Allah, aku berpamitan kepadamu untuk pergi, entah ke surga ataukah ke neraka.”
Menjelang ajalnya, Muhammad bin Wasi berkata, “Wahai, saudara-saudaraku. Selamat tinggal! Aku pergi, entah ke neraka, ataukah menuju ampunan Tuhanku.”
Sebagian orang berangan-angan untuk tetap berada dalam saat-saat kematian dan tak pernah dibangkitkan untuk menghadapi pahala atau siksaan. Oleh karena itu, rasa takut terhadap kematian dalam keadaan berdosa (keadaan su`ul khotimah) mengoyak hati orang-orang ‘arif, sebab hal itu termasuk ke dalam petaka dahsyat yang menyertai kematian. Kami telah menjelaskan makna “akhir kehidupan yang buruk” (su`ul khotimah) dan rasa takut orang-orang ‘arif terhadapnya di dalam ‘Kitab Tentang Takut dan Harap’ (dalam Ihya IV, kitab ke-3). Bab tersebut masih relevan dengan konteks pembicaraan sekarang.
Kesedihan Ketika Berjumpa Malaikat Maut
Asy`ats bin Aslam berkata, “Suatu ketika Ibrahim a.s mengajukan beberapa pertanyaan kepada malaikat maut yang namanya adalah `Izrail. ‘Wahai malaikat maut, apa yang engkau lakukan jika ada seorang manusia (yang sedang sekarat) di timur dan seorang lagi di barat, atau ketika negeri sedang dilanda wabah, atau ketika dua pasukan tentara sedang bertempur?’. Malaikat maut menjawab, ‘Kupanggil ruh-ruh itu dengan izin Allah hingga mereka berada di antara kedua jariku ini.’ Dan Ibrahim a.s berkata, ‘Kemudian bumi diratakan dan kelihatan seperti sebuah hidangan yang dia makan sebanyak yang diinginkannya.’ ” Asy`ats berkata, “Ketika itulah Allah SWT memberinya kabar gembira bahwa beliau adalah Kekasih (khalil) (Q.S. An-Nisaa, 4 : 125) Allah SWT.” Sulaiman putra Daud a.s bertanya kepada malaikat maut, “Mengapa aku tidak melihatmu bertindak adil kepada umat manusia? Engkau mengambil nyawa seorang manusia tetapi membiarkan yang lain.” “Aku tidak mengetahui hal itu lebih daripada yang kau ketahui,” jawabnya. “Aku hanya diberi daftar dan buku-buku yang berisi nama-nama.”
Wahb bin Munabbih berkata, “Suatu ketika seorang raja berkeinginan pergi ke sebuah provinsi. Dia minta dibawakan seperangkat pakaian, tapi tak ada di antara pakaian itu yang menyenangkan hatinya. Setelah beberapa kali memilih, barulah dia menemukan pakaian yang disukainya. Dengan cara yang sama, dia meminta dibawakan seekor kuda, tapi ketika dibawakan, dia menolak kuda itu. Lalu kuda-kuda yang lain dibawakan kepadanya hingga akhirnya dia menaiki kuda yang paling baik di antaranya. Kemudian setan mendatanginya dan meniupkan sifat takabur ke dalam lubang hidung raja itu. Setelah itu, dia dan rombongannya memulai perjalanan dengan sikap penuh kesombongan. Akan tetapi, kemudian dia didekati oleh seseorang bertampang kusut, kumal, yang mengucapkan salam kepadanya. Ketika raja itu tidak menjawab salamnya, orang itu kemudian merampas tali kekang kudanya. ‘Lepaskan tali kekangku!’ bentak sang raja. ‘Engkau telah melakukan kesalahan besar!’ Namun, orang itu malah menukas, ‘Aku punya sebuah permintaan kepadamu.’ ‘Tunggu sebentar,’ kata raja, ’sampai aku turun dari kudaku.’ ‘Tidak,’ jawab orang itu. ‘Sekarang juga!’ dan dia lalu menarik tali kekang kuda sang raja. ‘Baiklah, katakan apa permintaanmu,’ kata raja. ‘Permintaanku itu rahasia,’ jawab orang itu. Raja pun menundukkan kepalanya kepada orang itu, dan orang asing itu kemudian berbisik kepadanya, ‘Aku adalah malaikat maut!’ Mendengar itu, raja berubah air mukanya. Lidahnya bergetar dan ia berkata, ‘Beri aku waktu agar aku bisa kembali kepada keluargaku untuk mengucapkan selamat tinggal dan membereskan urusan-urusanku.’ ‘Tidak, demi Allah,’ kata malaikat maut. ‘Engkau tidak akan pernah melihat keluarga dan harta kekayaanmu lagi!’ Sambil berkata demikian, malaikat mencabut nyawa raja itu yang tak lama kemudian tersungkur mati, bagaikan sebongkah kayu kering.”
“Kemudian Malaikat meneruskan perjalanannya. Dia berjumpa dengan seorang beriman yang membalas salamnya ketika dia mengucapkan salam kepadanya. ‘Aku punya permintaan yang ingin kubisikkan ke telingamu,’ kata Malaikat. ‘Baiklah, akan kudengarkan,’ kata orang itu. Si malaikat pun membisikkan rahasianya dan berkata, ‘Aku adalah malaikat maut!’ Orang beriman itu menjawab, ‘Selamat datang, wahai siapa yang telah lama kunanti-nantikan. Demi Allah, tak ada siapapun di muka bumi ini yang lebih kunanti daripada dirimu.’ Mendengar itu, malaikat maut berkata kepadanya, ‘Selesaikanlah urusanmu yang telah menjadi maksud keberangkatanmu.’ Namun, orang itu menjawab, ‘Aku tidak mempunyai urusan lain yang lebih penting dan lebih kucintai daripada bertemu dengan Allah SWT.’ Dan malaikat berkata kepadanya, ‘Kalau begitu, pilihlah keadaanmu yang paling kau sukai untuk aku mengambil nyawamu.’ ‘Apakah engkau bisa melakukannya?’ orang itu bertanya. Malaikat menjawab, ‘Ya, demikianlah aku diperintahkan.’ ‘Kalau begitu, tunggulah aku sebentar, agar aku bisa berwudhu dan shalat, lalu ambillah nyawaku selagi aku bersujud.’ Dan Malaikat pun melakukan hal yang diminta oleh orang beriman itu.”
Bakr bin `Abdullah Al-Mazani berkata, “Suatu ketika seorang laki-laki dari Bani Israil mengumpulkan sejumlah besar kekayaan. Ketika dia telah dekat dengan ajalnya, dia berkata kepada anak-anaknya, ‘Perlihatkanlah kepadaku berbagai macam kekayaanku!’ Lalu, dibawakanlah kepadanya sejumlah besar kuda, unta, budak, dan harta benda yang lain. Ketika dia melihat semua itu, dia pun mulai menangis karena tak kuasa berpisah dengannya. Melihat orang itu menangis, malaikat maut pun bertanya kepadanya, ‘Mengapa engkau menangis? Sungguh, demi DIA yang telah memberimu anugerah semua ini, aku tidak akan meninggalkan rumahmu sebelum memisahkan nyawamu dari ragamu.’ ‘Berilah aku waktu sebentar,’ orang itu memohon kepadanya, ‘agar aku bisa membagi-bagikan kekayaanku.’ ‘Alangkah bodohnya!’ kata malaikat maut. ‘Waktumu telah berakhir. Seharusnya engkau telah mengerjakan hal itu sebelum habis waktumu.’ Sambil berkata begitu, dicabutnyalah nyawa orang itu.”
Diceritakan bahwa suatu ketika seorang laki-laki telah mengumpulkan kekayaan yang besar hingga tidak ada satu jenis kekayaan pun yang tidak berhasil diraihnya. Dia membangun sebuah istana dengan dua pintu gerbang yang sangat kuat. Dia membayar sepasukan pengawal yang terdiri dari orang-orang muda. Kemudian dia mengundang seluruh sanak keluarganya dan menjamu mereka dengan makanan. Setelah itu dia duduk di atas sofa sambil mengangkat kaki, sementara sanak keluarganya makan minum.
Setelah mereka selesai makan, dia berkata kepada dirinya sendiri, ‘Bersenang-senanglah selama bertahun-tahun karena aku telah mengumpulkan semua yang engkau butuhkan.’ Akan tetapi, baru saja dia mengucapkan perkataan itu, datanglah malaikat maut dalam wujud seorang laki-laki berpakaian compang-camping seperti seorang pengemis. Laki-laki itu memukul pintu gerbang dengan sangat keras dan mengejutkan orang kaya yang sedang berada di atas tempat tidurnya.
Orang-orang muda yang menjadi pengawalnya melompat dan bertanya, ‘Apa urusanmu di sini ?’ ‘Panggilkan tuanmu,’ kata orang itu. ‘Haruskah tuan kami datang menemui orang semacam engkau ini ?’ tanya mereka. ‘Ya,’ jawabnya. Dan ketika mereka menyampaikan kepada tuan mereka hal yang terjadi, dia berkata, ‘Kalian telah berbuat semestinya.’ Akan tetapi, kemudian pintu gerbang diketuk lagi dengan suara yang lebih keras daripada sebelumnya. Dan ketika para pengawal melompat untuk berbicara kepada orang itu, dia berkata, ‘Katakan kepadanya bahwa aku adalah malaikat maut.’
Ketika mendengar perkataan orang itu, mereka menjadi ngeri dan orang kaya itu juga merasa sangat hina dan rendah. ‘Berbicaralah kepadanya dengan sopan,’ perintahnya kepada mereka. ‘Dan tanyakan kepadanya apakah dia akan mengambil nyawa seseorang di rumah ini.’ Namun kemudian malaikat masuk dan berkata, ‘Berbuatlah sesuka hatimu karena aku tidak akan meninggalkan rumah ini sebelum aku mencabut nyawamu.’ Lalu orang kaya itu memerintahkan agar semua kekayaannya dibawa ke hadapannya. Setelah semuanya berada di depan matanya, dia berkata (kepada harta bendanya), ‘Semoga Allah mengutukmu sebab engkau telah memalingkan aku dari beribadah kepada Tuhanku dan menghalang-halangi aku dari pengabdian kepada-Nya.’
Allah membuat harta bendanya berbicara, ‘Mengapa engkau menghinaku sedangkan karena akulah engkau bisa diterima para sultan, padahal orang-orang yang bertakwa kepada Allah malah diusir dari pintunya? Karena akulah engkau bisa mengawini wanita-wanita lacur, duduk bersama raja-raja, dan membelanjakanku di jalan keburukan. Namun aku tak pernah membantah. Seandainya saja engkau membelanjakan aku di jalan kebaikan, niscaya aku telah memberi manfaat kepadamu. Engkau dan semua anak Adam diciptakan dari tanah, kemudian sebagaian dari mereka memberikan sedekah, sedang yang lain berbuat keji.’ Malaikat maut pun segera mencabut nyawa orang kaya itu, dan robohlah orang itu ke lantai.
Wahb bin Munabbih berkata, ‘Suatu ketika malaikat maut mencabut nyawa seorang penguasa tiran yang tidak ada tandingannya di muka bumi. Kemudian malaikat itu naik kembali ke langit. Malaikat-malaikat lain bertanya kepadanya, ‘Kepada siapa di antara orang-orang yang telah kau cabut nyawanya, engkau telah menaruh belas kasihan?’ Malaikat itu menjawab, ‘Suatu ketika aku pernah diperintahkan mencabut nyawa seorang perempuan di padang pasir. Ketika aku mendatanginya, dia baru saja melahirkan seorang anak laki-laki. Aku pun menaruh belas kasihan kepada perempuan itu karena keterpencilannya dan juga kasihan terhadap anak laki-laki perempuan itu, karena betapa dia masih sangat kecil namun tak terawat di tengah buasnya padang pasir.’ Lalu para malaikat itu berkata, ‘Penguasa lalim yang baru saja engkau cabut nyawanya itu adalah anak kecil yang dulu pernah engkau kasihani.’ Malaikat maut kemudian berujar, ‘Maha Suci DIA yang memperlihatkan kebaikan kepada yang dikehendaki-Nya.’
`Atha bin Yasar berkata, “Pada setiap tengah malam bulan Sya’ban, malaikat maut menerima lembaran tulisan dan dikatakan kepadanya, ‘Tahun ini engkau harus mencabut nyawa orang-orang yang namanya tercantum dalam lembaran ini.’ Seorang laki-laki boleh jadi sedang menanam tanam-tanaman, mengawini wanita-wanita, dan membangun gedung-gedung, sementara dia tak menyadari bahwa namanya ada dalam daftar tersebut.”
Al-Hasan berkata, “Setiap hari malaikat maut memeriksa setiap rumah tiga kali dan mencabut nyawa orang-orang yang rezekinya telah habis dan umurnya telah berakhir. Apabila dia telah melakukan hal itu, maka seisi rumah yang bersangkutan akan meratap dan menangis. Sambil memegang gagang pintu, malaikat maut berkata, ‘Demi Allah, aku tidak memakan rezekinya, tidak menghabiskan umurnya, dan tidak memperpendek batas hidupnya. Aku akan selalu kembali dan kembali lagi ke tengah-tengah kalian hingga tak ada lagi yang tersisa di antara kalian!’ “. Al-Hasan berkata, “Demi Allah, seandainya mereka bisa melihatnya berdiri di situ dan mendengar kata-katanya, niscaya mereka akan melupakan jenazah tersebut dan menangisi diri mereka sendiri.”
Yazid Al-Ruqasyi berkata, “Ketika seorang penguasa lalim dari Bani Israil sedang duduk seorang diri di istananya tanpa ditemani oleh salah seorang istrinya, masuklah seorang laik-laki melalui pintu istananya. Penguasa tiran itu marah dan berkata, ‘Siapa engkau? Siapa yang mengizinkanmu masuk ke dalam rumahku?’ Orang itu menjawab, ‘Yang mengizinkan aku masuk ke dalam rumah ini adalah pemilik rumah ini. Sedangkan aku adalah yang tak bisa dihalangi oleh seorang pengawal pun dan tidak pernah meminta izin untuk masuk bahkan kepada raja-raja sekalipun, tidak pernah takut kepada kekuatan raja-raja yang perkasa, dan tidak pernah diusir oleh penguasa tiran yang keras kepala ataupun setan pembangkang.’
Mendengar itu, penguasa lalim tersebut menutup mukanya, dan dengan tubuh gemetar dia jatuh tersungkur. Kemudian dia bangkit dengan wajah memelas. ‘Jadi engkau adalah malaikat maut ?’ tanyanya. ‘Ya,’ jawab laki-laki itu. ‘Sudikah engkau memberiku kesempatan agar aku bisa memperbaiki kelakuanku ?’ Alangkah bodohnya engkau,’ jawab sang malaikat, ‘Waktumu telah habis, napasmu dan masa hidupmu telah berakhir; tidak ada jalan lagi untuk memperoleh penangguhan.’ Penguasa tiran itu lalu bertanya, ‘Kemana engkau akan membawaku?’ ‘Kepada amal-amalmu yang telah engkau kerjakan sebelumnya. Dan juga ke tempat tinggal yang telah engkau dirikan sebelumnya,’ jawab malaikat. ‘Bagaimana mungkin,’ kata sang tiran, ‘Aku belum pernah mempersiapkan amal baik dan rumah baik yang bagaimanapun.’ Malaikat pun menjawab, ‘Kalau begitu, ke neraka, yang menggigit hingga ke pinggir-pinggir tulang.’ (Q.S. Al-Ma’arij, 70 : 15-16). “Kemudian Malaikat mencabut nyawa sang tiran, dan dia pun jatuh mati di tengah-tengah keluarganya, di tengah-tengah mereka yang kemudian meratap-ratap dan menjerit.” Yazid Al-Ruqasyi berkata, “Seandainya mereka mengetahui bagaimana buruknya neraka itu, tentu mereka akan menangis lebih keras lagi.”
Al-A`masy meriwayatkan dari Khaitsamah, bahwa suatu ketika malaikat maut mendatangi Sulaiman putra Daud a.s dan mulai mengamati salah seorang dari sahabat-sahabatnya. Ketika dia telah pergi, sahabat itu bertanya, “Siapa itu tadi?” Dan dikatakan kepadanya bahwa itu adalah malaikat maut. Berkatalah sahabat itu, “Kulihat dia memandangiku seolah-olah dia mengincarku.” “Lalu, apa keinginanmu?” tanya Sulaiman. “Saya ingin agar Tuanku menyelamatkan saya darinya dengan menyuruh angin membawa saya ke tempat yang paling jauh di India.” (Sulaiman memiliki kemampuan mengatur arah angin, Q.S. Al-Anbiyaa, 21 : 81). Angin pun kemudian melakukan apa yang diperintahkan. Ketika malaikat maut datang lagi, Sulaiman a.s bertanya kepadanya, “Kulihat engkau menatap terus-menerus ke arah salah seorang sahabatku?” “Ya,” kata Malaikat, “Aku sangat heran sebab aku telah diperintahkan untuk mencabut nyawanya di bagian paling jauh di India dengan segera. Namun melalui engkau, dia malah sedang menuju ke tempat itu. Oleh karena itu, aku heran.” ***
***
Cara Malaikat Izrail mencabut nyawa tergantung dari amal perbuatan orang yang bersangkutan, bila orang yang akan meninggal dunia itu durhaka kepada Alloh, maka Malaikat Izrail mencabut nyawa secara kasar. Sebaliknya, bila terhadap orang yang soleh, cara mencabutnya dengan lemah lembut dan dengan hati-hati. Namun demikian peristiwa terpisahnya nyawa dengan raga tetap teramat menyakitkan.
“Sakitnya sakaratul maut itu, kira-kira tiga ratus kali sakitnya dipukul pedang”. (H.R. Ibnu Abu Dunya).
Di dalam kisah Nabi Idris a.s, beliau adalah seorang ahli ibadah, kuat mengerjakan sholat sampai puluhan raka’at dalam sehari semalam dan selalu berzikir di dalam kesibukannya sehari-hari. Catatan amal Nabi Idris a.s yang sedemikian banyak, setiap malam naik ke langit. Hal itulah yang sangat menarik perhatian Malaikat Maut, Izrail. Maka bermohonlah ia kepada Alloh Swt agar di perkenankan mengunjungi Nabi Idris a.s. di dunia. Alloh Swt, mengabulkan permohonan Malaikat Izrail, maka turunlah ia ke dunia dengan menjelma sebagai seorang lelaki tampan, dan bertamu kerumah Nabi Idris.
“Assalamu’alaikum, yaa Nabi Alloh”. Salam Malaikat Izrail,
“Wa’alaikum salam wa rahmatulloh”. Jawab Nabi Idris a.s.
Beliau sama sekali tidak mengetahui, bahwa lelaki yang bertamu ke rumahnya itu adalah Malaikat Izrail. Seperti tamu yang lain, Nabi Idris a.s. melayani Malaikat Izrail, dan ketika tiba saat berbuka puasa, Nabi Idris a.s. mengajaknya makan bersama, namun di tolak oleh Malaikat Izrail. Selesai berbuka puasa, seperti biasanya, Nabi Idris a.s mengkhususkan waktunya “menghadap”. Alloh sampai keesokan harinya. Semua itu tidak lepas dari perhatian Malaikat Izrail. Juga ketika Nabi Idris terus-menerus berzikir dalam melakukan kesibukan sehari-harinya, dan hanya berbicara yang baik-baik saja. Pada suatu hari yang cerah, Nabi Idris a.s mengajak jalan-jalan “tamunya”. Itu ke sebuah perkebunan di mana pohon-pohonnya sedang berbuah, ranum dan menggiurkan.
“Izinkanlah saya memetik buah-buahan ini untuk kita”. pinta Malaikat Izrail (menguji Nabi Idris a.s). “Subhanalloh, (Maha Suci Alloh)” kata Nabi Idris a.s. “Kenapa ?” Malaikat Izrail pura-pura terkejut.
“Buah-buahan ini bukan milik kita”. Ungkap Nabi Idris a.s. Kemudian Beliau berkata: “Semalam anda menolak makanan yang halal, kini anda menginginkan makanan yang haram”. Malaikat Izrail tidak menjawab. Nabi Idris a.s perhatikan wajah tamunya yang tidak merasa bersalah. Diam-diam beliau penasaran tentang tamu yang belum dikenalnya itu. Siapakah gerangan ? pikir Nabi Idris a.s.
“Siapakah engkau sebenarnya ?” tanya Nabi Idris a.s.
“Aku Malaikat Izrail”. Jawab Malaikat Izrail. Nabi Idris a.s terkejut, hampir tak percaya, seketika tubuhnya bergetar tak berdaya. “Apakah kedatanganmu untuk mencabut nyawaku ?” selidik Nabi Idris a.s serius.
“Tidak” Senyum Malaikat Izrail penuh hormat.
“Atas izin Alloh, aku sekedar berziarah kepadamu”. Jawab Malaikat Izrail. Nabi Idris manggut-manggut, beberapa lama kemudian beliau hanya terdiam. “Aku punya keinginan kepadamu”. Tutur Nabi Idris a.s “Apa itu ? katakanlah !”. Jawab Malaikat Izrail. “Kumohon engkau bersedia mencabut nyawaku sekarang. Lalu mintalah kepada Alloh SWT untuk menghidupkanku kembali, agar bertambah rasa takutku kepada-Nya dan meningkatkan amal ibadahku”. Pinta Nabi Idris a.s. “Tanpa seizin Alloh, aku tak dapat melakukannya”, tolak Malaikat Izrail.
Pada saat itu pula Alloh SWT memerintahkan Malaikat Izrail agar mengabulkan permintaan Nabi Idris a.s. Dengan izin Alloh Malaikat Izrail segera mencabut nyawa Nabi Idris a.s. sesudah itu beliau wafat. Malaikat Izrail menangis, memohonlah ia kepada Alloh SWT agar menghidupkan Nabi Idris a.s. kembali. Alloh mengabulkan permohonannya. Setelah dikabulkan Allah Nabi Idris a.s. hidup kembali.
“Bagaimanakah rasa mati itu, sahabatku ?” Tanya Malaikat Izrail.
“Seribu kali lebih sakit dari binatang hidup dikuliti”. Jawab Nabi Idris a.s.
“Caraku yang lemah lembut itu, baru kulakukan terhadapmu”. Kata Malaikat Izrail.
MasyaAlloh, lemah-lembutnya Malaikat Maut (Izrail) itu terhadap Nabi Idris a.s.
Bagaimanakah jika sakaratul maut itu, datang kepada kita ?
Siapkah kita untuk menghadapinya ?
/*Dikutip dari: http://www.dudung.net/index.php?naon=depan&action=detail&id=69&cat=2