"Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui." (Al-Baqarah: 169).
“Wahai orang beriman, jika datang kepada kamu seorang fasik membawa sesuatu berita, maka selidik (untuk menentukan) kebenarannya, supaya kamu tidak menimpakan sesuatu kaum dengan perkara yang tidak diingini dengan sebab kejahilan kamu (mengenainya) sehingga menyebabkan kamu menyesali perkara yang kamu lakukan.” (Surah al-Hujurat, ayat 6)
Di kemaskini post pada 04/02/2021 Pada jam 23:40pm Kuala Lumpur

Wednesday, July 13, 2011

syaitan membogelkan wanita secara halus

http://static.wix.com/media/f4ffac260b810a62f55d0e2512cff62e.wix_mp
Syaitan dalam menggoda manusia memiliki berbagai macam strategi dan yang sering dipakai adalah dengan memanfaatkan hawa nafsu, yang memang memiliki kecenderungan mengajak kepada keburukan (ammaratun bis su’). Syaitan tahu persis kecenderungan nafsu kita, dia terus berusaha agar manusia keluar dari garis yang telah ditentukan Allah, termasuk melepaskan hijab atau pakaian muslimah. Berikut ini tahapan-tahapannya.
MENGHILANGKAN DEFINISI HIJAB
Dalam tahap ini Syaitan membisikkan kepada para wanita, bahwa pakaian apapun termasuk hijab (penutup) itutidak ada kaitannya dengan agama, ia hanya sekedar pakaian atau mode hiasan bagi para wanita. Jadi tidak ada pakaian syar’i, pakaian ya pakaian, apa pun bentuk dan namanya. Sehingga akibatnya, ketika zaman telah berubah, atau kebudayaan manusia telah berganti, maka tidak ada masalah pakaian ikut ganti juga. Demikian pula ketika seseorang berpindah dari suatu negeri ke negeri yang lain, maka harus menyesuaikan diri dengan pakaian penduduknya, apapun yang mereka pakai. Berbeda halnya jika seorang wanita berkeyakinan, bahwa hijab adalah pakaian syar’i (identitas keislaman), dan memakainya adalah ibadah bukan sekedar mode. Biarpun hidup kapan saja dan di mana saja, maka hijab syar’i tetap dipertahankan. Apabila seorang wanita masih bertahan dengan prinsip hijabnya, maka Syaitan beralih dengan strategi yang lebih halus. Caranya? Pertama, Membuka Bagian Tangan. Telapak tangan mungkin sudah terbiasa terbuka, maka Syaitan mem-bisik kan kepada para wanita agar ada sedikit peningkatan model yakni membuka bagian hasta (siku hingga telapak tangan). “Ah tidak apa-apa, kan masih pakai jilbab dan pakai baju panjang? Begitu bisikan Syaitan. Dan benar sang wanita akhirnya memakai pakain model baru yang menampakkan tangannya, dan ternyata para lelaki yang melihat nya juga biasa-biasa saja. Maka Syaitan berbisik,” Tuh tidak apa-apa kan? Kedua, Membuka Leher dan Dada. Setelah menampakkan tangan menjadi kebiasaan, maka datanglah Syaitan untuk membisikkan hal baru lagi. “Kini buka tangan sudah lumrah, maka perlu ada peningkatan model pakaian yang lebih maju lagi, yakni terbuka bagian atas dada kamu.” Tapi jangan sebut sebagai pakaian terbuka, hanya sekedar sedikit untuk mendapatkan hawa, agar tidak gerah. Cobalah! Orang pasti tidak akan peduli, sebab hanya bagian kecil saja yang terbuka. Maka dipakailah pakaian model baru yang terbuka bagian leher dan dadanya dari yang model setengah lingkaran hingga yang model bentuk huruf “V” yang tentu menjadikan lebih terlihat lagi bagian sensitif lagi dari dadanya. Ketiga, Berpakian Tapi Telanjang. Syaitan berbisik lagi, “Pakaian kok hanya gitu-gitu saja, cari model atau bahan lain yang lebih bagus! Tapi apa ya? Sang wanita bergumam. “Banyak model dan kain yang agak tipis, lalu bentuknya dibuat yang agak ketat biar lebih enak dipandang,” Syaitan memberi ide baru. Maka tergodalah si wanita, di carilah model pakaian yang ketat dan kain yang tipis bahkan transparan. “Nggak apa-apa kok, kan potongan pakaiannya masih panjang, hanya bahan dan modelnya saja yang agak berbeda, biar nampak lebih feminin,” begitu dia menambahkan. Walhasil pakaian tersebut akhirnya membudaya di kalangan wanita muslimah, makin hari makin bertambah ketat dan transparan, maka jadilah mereka wanita yang disebut oleh Nabi sebagai wanita kasiyat ‘ariyat (berpakaian tetapi telanjang). Keempat, Agak di Buka Sedikit. Setelah para wanita muslimah mengenakan busana yang ketat, maka Syaitan datang lagi. Dan sebagaimana biasanya dia menawarkan ide baru yang sepertinya segar dan enak, yakni dibisiki wanita itu, “Pakaian seperti ini membuat susah berjalan atau duduk, soalnya sempit, apa nggak sebaiknya di belah hingga lutut atau mendekati paha?” Dengan itu kamu akan lebih leluasa, lebih kelihatan lincah dan enerjik.” Lalu dicobalah ide baru itu, dan memang benar dengan dibelah mulai bagian bawah hingga lutut atau mendekati paha ternyata membuat lebih enak dan leluasa, terutama ketika akan duduk atau naik ke jok mobil. “Yah tersingkap sedikit nggak apa-apa lah, yang penting enjoy,” katanya. Inilah tahapan awal Syaitan merusak kaum wanita, hingga tahap ini pakaian masih tetap utuh dan panjang, hanya model, corak, potongan dan bahan saja yang dibuat berbeda dengan hijab syar’i yang sebenarnya. Maka kini mulailah Syaitan pada tahapan berikutnya.
TERBUKA SEDIKIT DEMI SEDIKIT
Kini Syaitan melangkah lagi, dengan trik dan siasat lain yang lebih ampuh, tujuannya agar para wanita menampak kan bagian aurat tubuhnya. Pertama, Membuka Telapak Kaki dan Tumit. Syaitan Berbisik kepada para wanita, “Baju panjang benar-benar membuat repot, kalau hanya dengan membelah sedikit bagiannya masih kurang leluasa, lebih enak kalau di potong saja hingga atas mata kaki.” Ini baru agak longgar. “Oh ada yang kelupaan, kalau kamu bakai baju demikian, maka jilbab yang besar tidak cocok lagi, sekarang kamu cari jilbab yang kecil agar lebih serasi dan gaul, toh orang tetap menamakannya dengan jilbab.” Maka para wanita yang terpengaruh dengan bisikan ini buru-buru mencari model pakaian yang dimaksudkan. Tak ketinggalan sepatu hak tinggi, yang kalau untuk berjalan mengeluarkan suara yang menarik perhatian orang. Kedua, Membuka Seperempat Hingga Separuh Betis. Terbuka telapak kaki telah biasa ia lakukan, dan ternyata orang-orang yang melihat juga tidak begitu peduli. Maka Syaitan kembali berbisik, “Ternyata kebanyakan manusia menyukai apa yang kamu lakukan, buktinya mereka tidak bereaksi apa-apa, kecuali hanya beberapa orang. Kalau langkah kakimu masih kurang leluasa, maka cobalah kamu cari model lain yang lebih enak, bukankah kini banyak rok setengah betis dijual di pasaran? Tidak usah terlalu mencolok, hanya terlihat kira-kira sepuluh senti saja.” Nanti kalau sudah terbiasa, baru kamu cari model baru yang terbuka hingga setengah betis.” Benar-benar bisikan Syaitan dan hawa nafsu telah menjadi penasehat pribadinya, sehingga apa yang saja yang dibisikkan Syaitan dalam jiwanya dia turuti. Maka terbiasalah dia mema-kai pakaian yang terlihat separuh betisnya kemana saja dia pergi. Ketiga, Terbuka Seluruh Betis. Kini di mata si wanita, zaman benar-benar telah berubah, Syaitan telah berhasil membalikkan pandangan jernihnya. Terkadang sang wanita berpikir, apakah ini tidak menyelisihi para wanita di masa Nabi dahulu. Namun buru-buru bisikan Syaitan dan hawa nafsu menyahut, “Ah jelas enggak, kan sekarang zaman sudah berubah, kalau zaman dulu para lelaki mengangkat pakaiannya hingga setengah betis, maka wanitanya harus menyelisihi dengan menjulurkannya hingga menutup telapak kaki, tapi kini lain, sekarang banyak laki-laki yang menurunkan pakaiannya hingga bawah mata kaki, maka wanitanya harus menyelisihi mereka yaitu dengan mengangkatnya hingga setengah betis atau kalau perlu lebih ke atas lagi, sehingga nampak seluruh betisnya.” Tetapi… apakah itu tidak menjadi fitnah bagi kaum laki-laki,” gumamnya. “Fitnah? Ah itu kan zaman dulu, di masa itu kaum laki-laki tidak suka kalau wanita menampakkan auratnya, sehingga wanita-wanita mereka lebih banyak di rumah dan pakaian mereka sangat tertutup. Tapi sekarang sudah berbeda, kini kaum laki-laki kalau melihat bagian tubuh wanita yang terbuka malah senang dan mengatakan ooh atau wow, bukankah ini berarti sudah tidak ada lagi fitnah, karena sama-sama suka? Lihat saja model pakaian di sana-sini, dari yang di emperan hingga yang yang bermerek kenamaan, seperti Kristian Dior, semuanya menawarkan model yang dirancang khusus untuk wanita maju di zaman ini. Kalau kamu tidak mengikuti model itu akan menjadi wanita yang ketinggalan zaman.” Demikianlah, maka pakaian yang menampakkan seluruh betis biasa dia kenakan, apalagi banyak para wanita yang memakainya dan sedikit sekali orang yang mempermasalahkan itu. Kini tibalah saatnya Syaitan melancarkan tahap terakhir dari siasatnya untuk melucuti hijab wanita.
SERBA MINI
Setelah pakaian yang menampak kan betis menjadi pakaian sehari-hari dan dirasa biasa-biasa saja, maka datanglah bisikan Syaitan yang lain. “Pakaian membutuhkan variasi, jangan itu-itu saja, sekarang ini modelnya rok mini, dan agar serasi rambut kepala harus terbuka, sehingga benar-benar kelihatan indah.” Maka akhirnya rok mini yang menampakkan bagian bawah paha dia pakai, bajunya pun bervariasi, ada yang terbuka hingga lengan tangan, terbuka bagian dada sekaligus bagian punggung nya dan berbagai model lain yang serba pendek dan mini. Koleksi pakaiannya sangat beraneka ragam, ada pakaian pesta, berlibur, pakaian kerja, pakaian resmi, pakaian malam, sore, musim panas, musim dingin dan lain-lain, tak ketinggalan celana pendek separuh paha pun dia miliki, model dan warna rambut juga ikut bervariasi, semuanya telah dicoba. Begitulah sesuatu yang sepertinya mustahil untuk dilakukan, ternyata kalau sudah dihiasi oleh Syaitan, maka segalanya menjadi serba mungkin dan diterima oleh manusia. Hingga suatu ketika, muncul ide untuk mandi di kolam renang terbuka atau mandi di pantai, di mana semua wanitanya sama, hanya dua bagian paling rawan saja yang tersisa untuk ditutupi, kemaluan dan buah dada. Mereka semua mengenakan pakaian yang sering disebut dengan “bikini”. Karena semuanya begitu, maka harus ikut begitu, dan na’udzu billah bisikan Syaitan berhasil, tujuannya tercapai, “Menelanjangi Kaum Wanita.” Selanjutnya terserah kalian wahai wanita, kalian semua sama, telanjang di hadapan laki-laki lain, di tempat umum. Kelak kalian sama-sama di neraka, karena engkau sendiri yang melakukan itu semua, maka tanggung sendiri "dosamu” Syaitan tak mau ambil resiko. Demikian halus, cara yang digunakan Syaitan, sehingga manusia terjerumus dalam dosa tanpa terasa. Maka hendaklah kita semua, terutama orang tua jika melihat gejala menyimpang pada anak-anak gadis dan para wanita kita sekecil apapun, segera secepatnya diambil tindakan. Jangan biarkan berlarut-larut, karena kalau dibiarkan dan telah menjadi kebiasaan, maka sangat sulit bagi kita untuk mengatasinya. Membiarkan mereka membuka aurat berarti merelakan mereka mendapatkan laknat Allah, kasihanilah mereka, selamatkan para wanita muslimah, jangan jerumuskan mereka ke dalam kebinasaan yang menyengsarakan, baik di dunia maupun di akhirat.
Wallahu a’lam bis shawab.
Sumber: Kitab “At ta’ari asy syaithani”, Adnan ath-Tharsyah.

7 Ciri-ciri hati mukmin yang sihat

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjx2ITCfzb7u5lXEOIsxEDkIS4kTpSmj0-cKqJA2KhuUntpzSzqyQixAYXFTYBoSerrXTcgmnnIqrK5zLHj2WQDL-tveQrAhqOet0tMf108DnObPxCtPMCc19X85Ztw6aov9W9e9D3Wkfg/s400/mohd-durrah.jpg
Pertama:
Jika ia tertinggal wiridnya dari Al-Quran atau zikrullah, atau suatu peribadatan lainnya, maka ia merasakan sakit yang tiada terperi melebihi sakit orang yang tamak dan kikir ketika kehilangan barang kesayangannya.
Kedua : 
Ia sentiasa merindui untuk mengabdikan diri di jalan Allah seperti rindunya seseorang kepada orang yang amat disayangi.
Ketiga :
Tujuan hidupnya hanya satu, iaitu taat kepada Allah SWT
Keempat : 
Bila ia sedang melakukan solat, maka hilanglah semua kegundahannya pada kenikmatan dunia yang sementara. Di dalam solat telah ia temukan kenikmatan dan kesejukan jiwa yang suci.

Kelima: 

Sangat menghargai waktu dan tidak mensia-siakannya, melebihi rasa kekhuatiran orang bakhil menjaga hartanya.

Keenam:

Tidak pernah terputus dan malas dalam mengingati Allah.

Ketujuh:

Lebih mengutamakan pada pencapaian kualiti atas suatu amalan perbuatan daripada kuantitinya. Lebih cenderung kepada keikhlasan beribadat.

Empat jenis racun hati
Pertama: Berlebihan dalam berbicara
Kedua:Berlebihan dalam memandang
Ketiga: Berlebihan dalam makan
Keempat: Berlebihan dalam bergaul
Wallahu'alam.
Rujukan :

13 Bukti keikhlasan - Dr. Yusuf al-Qaradhawi

http://english.aljazeera.net/mritems/images/2007/1/9/1_210509_1_2.jpg
Bukti-bukti ikhlas
Oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi
(Fit-Thariq Ilallah: An-Niyyah wal-Ikhlas)
Ikhlas itu mempunyai bukti dan tanda-tanda yang banyak sekali, contohnya, dalam kehidupan orang yang mukhlis; dalam tindak-tanduknya, dalam pandangan terhadap dirinya dan juga orang lain. Di antaranya adalah:
* Pertama: Takut Kemasyhuran
Takut kemasyhuran dan tersebarnya kemasyhuran ke atas dirinya, lebih-lebih lagi jika dia termasuk orang yang mempunyai pangkat tertentu. Dia perlu yakin bahawa penerimaan amal di sisi Allah hanya dengan cara sembunyi-sembunyi, tidak secara terang-terangan dan didedahkan. Sebab andaikata kemasyhuran seseorang memenuhi seluruh angkasa, lalu ada niat tidak baik yang masuk ke dalam dirinya, maka sedikit pun manusia tidak memerlukan kemasyhuran itu di sisi Allah.
Maka dari itu zuhud dalam masalah kedudukan, kemasyhuran, penampilan dan hal-hal yang serba gemerlap lebih besar daripada zuhud dalam masalah harta, syahwat perut dan kemaluan. Al-Imam Ibn Syihab az-Zuhri berkata: “Kami tidak melihat zuhud dalam hal tertentu yang lebih sedikit daripada zuhud dalam kedudukan. Engkau melihat seseorang berzuhud dalam masalah makanan, minuman dan harta. Namun jika kami membahagi-bahagikan kedudukan, tentu mereka akan berebut dan meminta lebih banyak lagi.”
Inilah yang membuat para ulama salaf dan orang-orang soleh antara mereka mengkhuatirkan dan menyangsikan hatinya dari ujian kemasyhuran, penipuan dan kedudukan. Oleh kerana itu mereka memperingatkan hal ini kepada murid-muridnya. Para pengarang buku telah meriwayatkan dalam pelbagai gambaran tentang tingkah laku ini, seperti Abu Qasim a-Qusyairi dalam ar-Risalah, Abu Thalib al-Makky dalam Qutul-Qulub, dan al-Ghazali di dalam al-Ihya’.
Begitu pula yang dikatakan seorang zuhud yang terkenal, Ibrahim bin Adham, “Allah tidak membenarkan orang yang suka kemasyhuran.”
Seorang zuhud yang terkenal, Bisyr al-Hafy berkata, “Saya tidak mengenal orang yang suka kemasyhuran melainkan agama menjadi sirna dan dia menjadi hina.”
Beliau juga berkata, “Tidak akan merasakan manisnya kehidupan akhirat orang yang suka terkenal di tengah manusia.”
Seseorang pernah menyertai perjalanan Ibn Muhairiz. Ketika hendak berpisah, orang itu berkata, “Berilah aku nasihat.”
Ibn Muhairiz berkata, “Jika boleh hendaklah engkau mengenal tetapi tidak dikenal, berjalanlah sendiri dan jangan mahu diikuti, bertanyalah dan jangan ditanya. Lakukanlah hal ini.”
Ayyub as-Sakhtiyani berkata, “Seseorang tidak berniat secara benar kerana Allah kecuali jika dia suka tidak merasakan kedudukannya.”
Khalid bin Mi’dan adalah seorang ahli ibadah yang dipercayai. Jika semakin ramai orang-orang yang berkumpul di sekelilingnya, maka beliau pun beranjak pergi kerana takut dirinya menjadi terkenal.
Salim bin Handzalah menceritakan, “Ketika kami berjalan secara beramai-ramai di belakang Ubay bin Ka’ab, tiba-tiba Umar melihatnya lalu melemparkan susu ke arahnya.”
Ubay bin Ka’ab lalu bertanya, “Wahai Amirul Mu’minin, apakah yang telah engkau lakukan?”
Jawab Umar, “Sesungguhnya kejadian ini merupakan kehinaan bagi yang mengikuti dan ujian bagi yang diikuti.”
Ini merupakan perhatian Umar bin al-Khattab secara psikologi terhadap fenomena yang pada permulaannya boleh menimbulkan kesan dan pengaruh yang jauh terhadap kejiwaan orang-orang yang mengikuti dan sekaligus orang yang diikuti.
Diriwayatkan dari al-Hasan, beliau berkata, “Pada suatu hari Ibn Mas’ud keluar dari rumahnya, lalu diikuti beberapa orang. Maka beliau berpaling ke arah mereka dan berkata: “Ada apa kamu mengikutiku? Demi Allah, andaikata kamu tahu alasanku menutup pintu rumahku, dua orang antara kamu pun tidak akan dapat mengikutiku.”
Pada suatu hari al-Hasan keluar rumah lalu diikuti beberapa orang. Beliau bertanya, “Apakah kamu ada keperluan kepadaku? Jika tidak, mengapa kejadian seperti ini masih tersemat dalam hati orang Mu’min?”
Ayyub as-Sakhtiyani melakukan suatu perjalanan, lalu ada beberapa orang yang mengalu-alukan kedatangannya. Beliau berkata, “Andaikata tidak kerana aku tahu bahawa Allah mengetahui isi hatiku tentang ketidaksukaan aku terhadap hal ini, tentu aku takut kebencian dari Allah.”
Ibn Mas’ud berkata, “Jadilah kamu sebagai sumber ilmu, pelita petunjuk, penerang rumah, obor pada waktu malam dan pembaharu hati yang diketahui penduduk langit, namun tidak dikenal penduduk bumi.”
Al-Fudhayl ibn Iyadh berkata, “Jika engkau sanggup untuk tidak dikenal, maka lakukanlah. Apa sukarnya engkau tidak dikenal? Apa sukarnya engkau tidak disanjung-sanjung? Tidak mengapalah engkau tercela di hadapan manusia selagi engkau terpuji di sisi Allah.”
Athar-athar ini tidak mengajak kepada pengasingan atau uzlah. Orang-orang yang menjadi sumber riwayat ini adalah para imam dan da’ie. Mereka memiliki pengaruh yang amat baik dalam menyeru masyarakat, mengarahkan dan memperbaiki keadaan manusia. Tetapi yang dapat difahami dari sejumlah penyataan mereka adalah kebangkitan dari naluri jiwa yang tersembunyi, kewaspadaan terhadap tipudaya yang disusupkan syaitan ke dalam hati manusia, jika hati mereka dicampuri hal-hal yang serba gemerlap dan dikelilingi orang-orang yang mengikutinya.
Kemasyhuran itu sendiri bukanlah suatu yang tercela. Tiada yang lebih masyhur daripada para Anbia’, al-Khulafa’ ar-Rasyidin, dan imam-imam mujtahidin. Tetapi yang tercela adalah mencari kemasyhuran, takhta dan kedudukan, serta sangat bercita-cita mendapatkannya. Kemasyhuran tanpa cita-cita ini tidaklah menjadi masalah, sekali pun ia tetap menjadi ujian bagi orang-orang yang lemah, seperti yang dikatakan oleh Imam al-Ghazali.
Sejajar dengan pengertian ini yang telah disebutkan dalam hadith Abu Dzar daripada Rasulullah s.a.w , bahawa Baginda pernah ditanya tentang seorang lelaki yang melakukan suatu amal kebajikan kerana Allah, lalu orang ramai menyanjungnya.
Maka Baginda menjawab, “Itu kurnia yang didahulukan, sekaligus khabar gembira bagi orang Mu’min.” (HR Imam Muslim, Ibn Majah dan Ahmad)
Ada pula lafaz lain, “Seseorang melakukan amal kerana Allah lalu orang-orang pun menyukainya..”
Pengertian seperti inilah yang ditafsirkan oleh al-Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih, Ibn Jarir at-Thabary dan lain-lainnya.
Begitu pula hadith yang ditakhrij Imam at-Tirmidzi dan Ibn Majah, dari hadith Abu Hurairah, bahawa ada seorang lelaki berkata, “Wahai Rasulullah, ada seorang melakukan suatu amal dan dia pun senang melakukannya. Setiap kalidia melakukannya kembali, maka dia pun berasa takjub kepadanya.”
Baginda bersabda, “Dia mempunyai dua pahala, pahala kerana merahsiakan dan pahala memperlihatkan.”
* Kedua: Menuduh Diri Sendiri
Orang yang mukhlis sentiasa menuduh diri sendiri sebagai orang yang berlebih-lebihan di sisi Allah dan kerana dalam melaksanakan pelbagai kewajipan, tidak mampu menguasai hatinya kerana terpedaya oleh suatu amal dan takjub pada dirinya sendiri. Malahan dia sentiasa takut andaikata keburukan-keburukannya tidak diampunkan dan takut kebaikan-kebaikannya tidak diterima.
Kerana sikap seperti ini, ada sebahagian di antara para salaf yang menangis tersedu-sedu ketika jatuh sakit. Beberapa orang yang menziarahinya bertanya, “Mengapa engkau masih menangis, padahal engkau suka berpuasa, mendirikan solat malam, berjihad, mengeluarkan sedekah, haji umrah, mengajarkan ilmu dan banyak berzikir?”
Beliau menjawab, “Apa yang membuatkanku tahu bahawa hanya sedikit dari amal-amalku yang masuk dalam timbanganku dan juga diterima di sisi Rabb-ku? Sementara Allah telah berfirman, Allah hanya menerima (amal) dari orang-orang yang bertaqwa,”
Satu-satunya sumber taqwa adalah hati. Maka dari itu al-Quran menambahinya dengan firman Allah yang bermaksud: “Maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati..” (al-Hajj: 32)
Nabi s.a.w bersabda:
“Taqwa itu ada di sini,” Baginda mengulanginya tiga kali dan menunjuk ke arah dadanya. (HR Imam Muslim)
Sayyidah Aishah r.a. pernah bertanya kepada Rasulullah s.a.w. tentang orang-orang yang dinyatakan dalam firman Allah bermaksud: “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut, (kerana mereka tahu bahawa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka.” (al-Mu’minun: 60)
“Apakah mereka orang-orang yang mencuri, berzina, meminum khamar dan mereka takut kepada Allah?”
Baginda menjawab, “Bukan, wahai puteri as-Shiddiq. Tetapi mereka adalah orang-orang yang mendirikan solat, berpuasa, mengeluarkan sedekah, dan mereka takut amalnya tidak diterima. Mereka itu bersegera untuk mendapatkan kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehinya.” (HR Imam Ahmad dan lain-lainnya)
Orang yang mukhlis sentiasa takut terhadap riya’ yang menyusup ke dalam dirinya, sedang dia tidak menyedarinya. Inilah yang disebut syahwah khafiyyah yang menyusup ke dalam diri orang yang meniti jalan kepada Allah tanpa disedarinya.
Dalam hal ini Ibn ‘Atha’illah memperingatkan, “Kepentingan peribadi dalam kederhakaan amat jelas dan terang. Sedangkan kepentingan peribadi di dalam ketaatan tersamar dan tersembunyi. Padahal menyembuhkan apa yang tidak nampak itu amat sukar. Boleh jadi ada riya’ yang masuk ke dalam dirimu dan orang lain juga tidak melihatnya. Tetapi kebanggaanmu bila orang lain melihat kelebihanmu merupakan budi ketidakjujuranmu dalam beribadah. Maka kosongkanlah pandangan orang lain terhadap dirimu. Cukup bagimu pandangan Allah terhadap dirimu. Tidak perlu bagimu tampil di hadapan mereka agar engkau terlihat di mata mereka.”
* Ketiga: Beramal Secara Diam-Diam, Jauh Dari Hebahan
Amal yg dilakukan secara diam-diam hendaklah lebih disukai daripada amal yang disertai hebahan dan didedahkan. Dia lebih suka memilih menjadi perajurit bayangan yang rela berkorban, namun tidak diketahui dan tidak dikenali. Dia lebih suka memilih menjadi bahagian dari suatu jamaah, ibarat akar pohon yang menjadi penyokong dan saluran kehidupannya, tetapi tidak terlihat oleh mata, tersembunyi di dalam tanah; atau seperti asas bangunan. Tanpa asas, dinding tidak akan berdiri, atap tidak akan dapat dijadikan berteduh dan bangunan tidak dapat ditegakkan. Tetapi ia tidak terlihat, seperti dinding yang terlihat jelas. Syauqy berkata di dalam syairnya:
“Landasan yang tersembunyi
Tidak terlihat mata kerana merendah
Bangunan yang menjulang tinggi
Di atasnya dibangun megah“
Di bahagian sebelum ini telah dikemukakan hadith Mu’adz, “Sesungguhnya Allah menyintai orang-orang yang berbuat kebaikan, bertaqwa dan menyembunyikan amalnya, iaitu jika tidak hadir mereka tidak diketahui. Hati mereka adalah pelita-pelita petunjuk. Mereka keluar dari setiap tempat yang gelap.”
* Keempat: Tidak Memerlukan Pujian Dan Tidak Tenggelam Oleh Pujian
Tidak meminta pujian orang-orang yang suka memuji dan tidak bercita-cita mendapatkannya. Jika ada seseorang memujinya, maka dia tidak terkecoh tentang hakikat dirinya di hadapan orang yang memujinya, kerana memang dia lebih mengetahui tentang rahsia hati dan dirinya daripada orang lain yang boleh tertipu penampilan dan tidak mengetahui batinnya.
Ibn ‘Atha’illah berkata, “Orang-orang memujimu dari persangkaan mereka tentang dirimu. Maka adalah engkau orang yang mencela dirimu sendiri kerana apa yang engkau ketahui pada dirimu. Orang yang paling bodoh adalah yang meninggalkan keyakinannya tentang dirinya kerana ada persangkaan orang-orang tentang dirinya.”
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib r.a., bahawa jika dipuji orang lain maka beliau berkata, “Ya Allah, janganlah Engkau hukum aku kerana apa yang mereka katakan. Berikanlah kebaikan kepadaku dari apa yang tidak mereka ketahui.”
Ibn Mas’ud r..a berkata kepada orang-orang yang mengekori dan mengerumuninya, “Andaikata kamu tahu alasanku menutup pintu rumahku, dua orang antara kamu pun tidak akan dapat mengikutiku.” Padahal beliau adalah sahabat yg menonjol, pemuka petunjuk dan pelita Islam.
Sekumpulan orang memuji seorang Rabbani. Lalu dia mengadu kepada Allah sambil berkata, “Ya Allah, mereka tidak mengenalku dan hanya Engkaulah yang mengetahui siapa diriku.”
Salah seorang yang soleh bermunajat kepada Allah, kerana sebahagian orang ada yang memujinya dan menyebut-nyebut kebaikan dan kemuliaan akhlaknya:
“Mereka berbaik sangka kepadaku
Padahal hakikatnya tidaklah begitu
Tetapi aku adalah orang yang zalim
Sebagaimana yang Engkau sedia maklum
Kau sembunyikan semua aib yang ada
Dari pandangan mata mereka
Kau kenakan pakaian menawan
Sebagai tabir tutupan
Jadilah mereka meyintai
Padahal aku tidak layak dicintai
Tapi hanyalah diserupai
Janganlah Engkau hinakan aku
Pada Hari Qiamat di tengah mereka
Jadikanlah aku yang mulia
Termasuk yang hina dina“
Penyair yang soleh ini mengisyaratkan makna yang lembut dan sangat penting, iaitu keindahan tabir yang diberikan Allah kepada hamba-hambaNya. Berapa banyak cela yang tersembunyi, dan Allah menutupinya dari pandangan orang ramai. Andaikata Allah membuka tabir itu dari pandangan mereka, tentu kelemahannya akan terserlah dan kedudukannya akan jatuh. Tetapi kurnia Allah enggan untuk menyingkap tabir kelemahan hamba-hambaNya, sebagai kurnia dan kemuliaan baginya.
Seerti dengan ini telah dikatakan oleh Ibn ‘Atha’illah, “Sesiapa yang memuliakanmu, sebenarnya dia telah memuliakan keindahan tabir pada dirimu. Keutamaan ada pada diri orang yang memuliakanmu dan menutupi aibmu, bukan pada diri orang yang menyanjungmu dan berterima kasih kepadamu.”
Abu al-Atahiyah berkata dalam syairnya:
“Allah telah berbuat baik kepada kita
Kerana kesalahan tidak menyebar ke mana-mana
Apa yg tersembunyi pada diri kita
Tentu tersingkap di sisiNya“
* Kelima: Tidak Kedekut Pujian Terhadap Orang Yg Memang Layak Dipuji
Tidak kedekut memberikan pujian kepada orang lain yang memang layak dipuji dan menyanjung orang yang memang layak disanjung. Di sana ada dua bencana yg bakal muncul: Pertama, memberikan pujian dan sanjungan kepada orang yang tidak berhak. Kedua, kedekut memberikan pujian kepada orang yang layak.
Nabi s.a.w. pernah memuji sekumpulan para sahabatnya, menyebut-nyebut keutamaan dan kelebihan mereka, seperti sabda Baginda tentang Abu Bakar yang bermaksud: “Andaikata aku boleh mengambil seorang kekasih selain Rabb-ku, nescaya aku mengambil Abu Bakar sebagai kekasihku. Tetapi dia adalah saudara dan sahabatku.”
Sabda Baginda kepada Umar: “Andaikata engkau melalui suatu jalan, tentu syaitan akan melalui jalan yang lain.”
Sabda Baginda kepada Uthman: “Sesungguhnya beliau adalah orang yang para malaikat pun berasa malu terhadap dirinya.”
Sabda Rasulullah terhadap Ali: “Di mataku engkau seperti kedudukan Harun di mata Musa.”
Sabda Rasulullah terhadap Khalid bin al-Walid: “Beliau adalah salah satu daripada pedang-pedang Allah.”
Sabda Rasulullah terhadap Abu Ubaidah: “Beliau adalah kepercayaan umat ini.”
Masih ramai sahabat yang dipuji Nabi s.a.w. , kerana kelebihan dan keistimewaan mereka. Di antara mereka ada dari kalangan pemuda, seperti Usamah bin Zaid yang diangkat menjadi komandan pasukan perang, padahal dalam pasukan tersebut terdapat para pemuka sahabat. Baginda mengangkat Itab bin Usaid sebagai pegawai di Makkah, padahal umurnya masih dua puluh tahun. Mu’adz bin Jabal dikirim ke Yaman, padahal beliau masih muda. Sebahagian di antara mereka lebih diutamakan daripada orang-orang yang lebih terdahulu memeluk Islam, kerana kelebihan dirinya, seperti Khalid bin al-Walid dan Amr bin al-Ash.
Boleh jadi seseorang tidak mahu memberikan pujian kepada orang yang layak dipuji, kerana ada maksud tertentu dalam dirinya, atau kerana rasa iri hati yang disembunyikan, seperti takut campurtangan di pejabatnya, atau menyaingi kedudukannya. Kerana dia juga tidak mampu untuk melemparkan celaan, maka setidak-tidaknya dia hanya berdiam diri dan tidak perlu menyanjungnya.
Kita melihat bagaimana Umar bin al-Khattab yang meminta pendapat Ibn Abbas dalam pelbagai urusan, padahal Ibn Abbas masih sangat muda. Maka para pemuka sahabat berkata kepadanya, “Bicaralah wahai Ibn Abbas. Kerana usia yg muda tidak menghalangimu untuk berbicara.“
* Keenam: Berbuat Selayaknya Dalam Memimpin
Orang yang mukhlis kerana Allah akan berbuat selayaknya ketika menjadi pemimpin di barisan terhadapan dan tetap setia ketika berada paling belakang, dalam dua keadaan ini dia tetap mencari keredhaan Allah. Hatinya tidak dikuasai kesenangan untuk tampil, menguasai barisan dan menduduki jabatan strategi dalam kepimpinan. Tetapi dia lebih mementingkan kemashlahatan bersama kerana takut ada kewajipan dan tuntutan kepimpinan yang dia lewatkan.
Apa pun keadaannya dia tidak bercita-cita dan tidak menuntut kedudukan untuk kepentingan dirinya sendiri. Tetapi jika dia dibebankan tugas sebagai pemimpin, maka dia melaksanakannya dan memohon pertolongan kepada Allah agar dia mampu melaksanakannya dengan baik. Rasulullah s.a.w telah mensifatkan kelompok orang seperti ini dalam sabda Baginda yang bermaksud:
“Keuntungan bagi hamba yang mengambil tali kendali kudanya fi sabilillah, yang kusut kepalanya dan yang kotor kedua telapak kakinya. Jika kuda itu berada di barisan belakang, maka dia pun berada di kedudukan penjagaan.” (HR Imam Bukhari)
Allah meredhai Khalid bin al-Walid yang diberhentikan sebagai komandan pasukan, sekali pun beliau seorang komandan yang sentiasa mendapat kemenangan. Setelah itu beliau pun menjadi orang bawahan Abu Ubaidah tanpa rasa rendah diri. Dalam kedudukan seperti itu pun beliau tetap ikhlas memberikan pertolongan.
Rasulullah s.a.w. memperingatkan seandainya ada seseorang yang meminta jawatan dan sengaja untuk mendapatkannya.
Telah disebutkan di dalam as-Shahih, bahawa Nabi s.a.w. pernah bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah:
“Janganlah engkau meminta jawatan pemimpin. Kerana jika engkau memperoleh jawatan itu tanpa meminta maka engkau akan mendapat sokongan, dan jika engkau memintanya, maka semua tanggungjawab akan dibebankan kepadamu.” (Muttafaq ‘Alaihi)
* Ketujuh: Mencari Keredhaan Allah, Bukan Keredhaan Manusia
Tidak memperdulikan keredhaan manusia jika di sebalik itu ada kemurkaan Allah ‘Azza wa Jalla. Sebab setiap orang di antara satu sama lain saling berbeza dalam sikap, rasa, pemikiran, kecenderungan, tujuan dan jalan yang ditempuh. Berusaha membuat mereka redha adalah suatu yang tiada penghujungnya, tujuan yang sulit diketahui dan tuntutan yang tidak terkabul. Dalam hal ini seorang penyair berkata:
“Adakalanya seseorang
Membuat redha sekian ramai orang
Kini betapa jauh jarak yang membentang
Di tengah tuntutan-tuntutan hawa nafsu“
Penyair lain berkata:
“Jika aku meredhai orang-orang yang mulia
Tentunya aku memurkai orang-orang yang hina“
Orang yang mukhlis tidak terlalu peduli dengan semua ini, kerana syiarnya hanya bersama Allah. Dikatakan dalam satu syair:
“Boleh jadi engkau mengasingkan diri
Tetapi hidup tetap terasa pahit di hati
Boleh jadi engkau redha
Padahal orang lain murka
Engkau membangun dan orang lain merobohkan
Antara diriku dan alam ada kerosakan
Jika di hatimu ada cinta semua itu tiada daya
Apa yang ada di atas tanah
Tetap menjadi tanah“
* Kelapan: Menjadikan Keredhaan Dan Kemarahan Kerana Allah, Bukan Kerana Kepentingan Peribadi
Kecintaan dan kemarahan, pemberian dan penahanan, keredhaan dan kemurkaan harus dilakukan kerana Allah dan agamaNya, bukan kerana pertimbangan peribadi dan kepentingannya, tidak seperti orang-orang munafik opportunis yang dicela Allah dalam KitabNya:
“Dan di antara mereka ada yang mencela mu tentang (pembahagian) zakat. Jika mereka diberi sebahagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.” (at-Taubah: 58)
Boleh jadi engkau pernah melihat orang-orang yang aktif dalam lapangan dakwah, apabila ada salah seorang rakannya melontarkan perkataan yang mengganggu atau melukai perasaannnya, atau ada tindakan yang menyakiti dirinya, maka secepat itu pula dia marah dan meradang, lalu meninggalkan harakah dan aktivitinya, meninggalkanmedan jihad dan dakwah.
Ikhlas untuk mencapai tujuan menuntutnya untuk cekal dalam berdakwah dan gerak langkahnya, sekali pun orang lain menyalahkan, meremehkan dan bertindak melampaui batas terhadap dirinya. Sebab dia berbuat kerana Allah, bukan kerana kepentingan peribadi atau atas nama keluarga, serta bukan kerana kepentingan orang tertentu.
Dakwah kepada Allah bukan seperti harta yang ditimbun atau harta milik seseorang. Tetapi dakwah merupakan milik semua orang. Siapa pun orang Mu’min tidak boleh menarik diri dari medan dakwah ini hanya kerana sikap atau tindakan tertentu yang mempengaruhi dirinya.
* Kesembilan: Sabar Sepanjang Jalan
Perjalanan yang panjang, lambatnya hasil yang diperoleh, kejayaan yang tertunda, kesulitan dalam bergaul dengan pelbagai lapisan manusia dengan perbezaan perasaan dan kecenderungan mereka, tidak boleh membuatnya menjadi malas, bersikap leka, mengundurkan diri, atau berhenti di tengah jalan. Sebab dia berbuat bukan sekadar untuk sebuah kejayaan atau pun kemenangan, tetapi yang paling pokok tujuannya adalah untuk keredhaan Allah dan menuruti perintahNya.
Nabi Nuh a.s., pemuka para anbia’, hidup di tengah kaumnya selama 950 tahun. Beliau berdakwah dan bertabligh, namun hanya sedikit sekali yang mahu beriman kepada beliau. Padahal pelbagai cara dakwah sudah ditempuh, waktu dan bentuk dakwahnya juga pelbagai cara, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah melalui perkataan beliau:
“Wahai Rabb-ku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan terlalu menyombongkan diri.” (Nuh: 5-7)
Sekali pun harus menghabiskan masa selama 950 tahun, beliau tetap menyeru kaumnya dan akhirnya ada 40 orang yang berhimpun bersama beliau. Sedangkan kaumnya yang lain berpaling dari beliau, sekali pun beliau sangat berharap mereka mahu beriman.
Al-Quran telah mengisahkan kepada kita individu-individu Mu’min di dalam surah al-Buruj. Mereka rela mengorbankan nyawa fi sabilillah dan mereka tidak mengatakan, “Kematian ini dapat memberi apa-apa manfaat terhadap dakwah kita?” Mereka tidak berkata seperti itu, kerana mereka mempunyai keteguhan hati dan pengorbanan. Kejayaan dakwah ada di tangan Allah. Siapa tahu darah mereka itu merupakan santapan lazat bagi pohon iman generasi berikutnya?
Perkara yang prinsip, alam orang yang mukhlis hanya bagi Allah semata. Dia cekal dalam hal ini dan terus seperti itu. Hasil dan buah di dunia diserahkan kepada Allah, kerana Allah-lah yang menyediakan penyebabnya dan membatasi waktunya. Dia hanya sekadar berusaha. Jika berjaya, maka segala puji hanya bagi Allah, dan jika gagal, maka segala daya kekuatan itu hanya milik Allah.
Sesungguhnya di akhirat Allah tidak akan bertanya kepada manusia, “Mengapa engkau tidak memperoleh kemenangan?” Tetapi Dia akan bertanya, “Mengapa engkau tidak berusaha?”
Allah tidak bertanya, “Mengapa engkau tidak berjaya?” Tetapi Dia bertanya, “Mengapa engkau tidak melakukannya?”
* Kesepuluh: Berasa Senang Jika Ada Yang Bergabung
Berasa senang jika ada seseorang yang mempunyai kemampuan, bergabung dalam barisan mereka yang mahu beramal, untuk menegakkan bendera atau ikut taat dalam amal. Hal ini harus disertai dengan usaha memberikan kesempatan kepadanya, sehingga dia dapat mengambil tempat yang sesuai dengan kedudukannya. Dia tidak harus rasa terganggu, terganjal, dengki atau pun gelisah kerana kehadirannya. Malahan jika orang yang mukhlis melihat ada orang lain yang lebih baik daripada dirinya yang mahu memikul tanggungjawabnya, maka dengan senang hati dia akan mundur, memberikan tanggungjawabnya kepada orang itu dan dia berasa senang menyerahkan jawatan kepadanya.
Sebahagian orang yang memegang jawatan, lebih-lebih lagi jika berada di barisan hadapan, tidak mahu menyerah dalam mempertahankan kedudukannya, tidak mahu berundur walau bagaimanapun keadaannya dan suka menekan orang lain.
Dia berkata, “Ini merupakan kedudukan yang telah diberikan Allah kepadaku, maka aku tidak mahu melepaskannya. Ini adalah pakaian yang telah dikenakan kepadaku, maka aku tidak mahu membukanya. Kedudukan ini datang dari langit.”
Padahal waktu terus berlalu, keadaan berubah dan kekuatan menjadi lemah. Setiap masa diperuntukkan bagi mereka yang sesuai dengannya, sebagaimana setiap tempat diperuntukkan bagi orang yang memang sesuai dengan tempat itu. Banyak cemuhan ditujukan kepada penguasa yang bermati-matian mempertahankan kerusi dan kedudukannya, dengan anggapan bahawa merekalah yang paling mampu mengendalikan perahu dan menjaganya dari terpaan angin taufan.
Ketika mendapat kritikan dari orang lain, para da’ie Muslim tidak boleh menutup mata atau menutup telinga. Mereka juga tidak boleh lepas tangan demi kemaslahatan dakwah sebagaimana orang lain yang tidak boleh lepas tangan demi kemaslahatan negara dan ummah. Kerana andai lepas tangan, boleh jadi itu merupakan belenggu syaitan dan godaan yang dibisikkan ke dalam hati para aktivitis Islam. Sehingga jika yang lebih banyak berbicara adalah kepentingan diri sendiri, kecintaan kepada kedudukan dan dunia, maka itu dianggap pengabdian terhadap agama.
Berapa ramai jemaah atau harakah yang disusupi kezaliman dari luar, pengaruh dari dalam atau kepincangan dalam berfikir dan beramal, tiada inovasi dan tajdid, sebagai akibat dari kerakusan satu atau dua orang yang terlibat di dalamnya. Dia tidak mahu melepaskan kedudukannya kepada orang lain. Dia lupa bahawa bumi ini terus berputar, planet-planet terus berlalu, dunia terus berubah. Tetapi ternyata mereka tidak mahu berputar seiring dengan putaran bumi, tidak berubah seiring dengan perubahan waktu dan tempat serta keadaan manusia.
Malahan di antara mereka ada yang memikul beban dan tanggungjawab melebihi kemampuan bahunya. Padahal maksudnya ialah untuk menghalang jalan bagi orang lain yang lebih mampu dan lebih bertenaga, bukan sahaja orang lain itu dapat dikerahkan untuk mengurangkan beban amanat yang dipikulnya malah sekaligus sebagai melatih diri untuk memikul tanggungjawab.
* Kesebelas: Rakus Terhadap Amal Yang Bermanfaat
Di antara bukti ikhlas adalah rakus terhadap amal yang paling diredhai Allah, dan bukan yang paling diredhai oleh dirinya sendiri. Sehingga orang yang mukhlis lebih mementingkan amal yang lebih banyak manfaatnya dan lebih mendalam pengaruhnya, tanpa disusupi hawa nafsu dan kesenangan diri sendiri.
Dia senang melakukan puasa nafilah dan solat dhuha. Namun sekali pun waktunya dihabiskan untuk mendamaikan mereka yang sedang bertikai, justeru itulah yang lebih dipentingkannya. Dalam sebuah hadith disebutkan:
“Ketahuilah, akan ku khabarkan kepadamu tentang sesuatu yang lebih utama daripada darjat puasa, solat dan sedekah. Iaitu mendamaikan di antara sesama manusia. Sebab kerosakan di antara sesama manusia adalah pemotong.” (HR Imam Abu Daud dan at-Tirmidzi, hadith shahih)
Dia mendapatkan kesenangan di hati dan kegembiraan di dalam jiwa jika boleh melaksanakan umrah pada setiap bulan Ramadhan dan haji pada musimnya. Tetapi dikatakan kepadanya, “Sumbangkan saja wang itu untuk ikhwan kita di Palestin atau Bosnia atau Kashmir yang sedang mengalami kehancuran.” Jika hatinya tidak lapang dan menolak, maka dia seperti apa yang dikatakan al-Ghazali sebagai orang yang tertipu.
Ada seorang penderma dari salah satu negara kaya yang berkunjung ke Afrika untuk membangun sebuah masjid. Di sana dia ditemui oleh para wakil masyarakat, yang mengusulkan agar dia membaiki beberapa masjid lama yang hampir roboh. Sementara masjid-masjid itu berada di tempat strategik di tengah permukiman penduduk dan kewujudannya sangat diperlukan. Tabung yang mestinya untuk membangun satu masjid yang direncanakan, cukup untuk membaiki sepuluh masjid lama yang sudah ada dan hampir roboh itu. Tetapi ternyata dia menolak, kecuali jika namanya digunakan untuk nama-nama masjid tersebut!
* Kedua Belas: Menghindari Ujub
Di antara tanda kesempurnaan ikhlas ialah tidak merosak amal dengan ujub, berasa senang dan puas terhadap amal yang telah dilakukannya. Sikap seperti ini dapat membutakan matanya untuk melihat celah-celah yang sewaktu-waktu muncul. Seharusnya apa yang perlu dilakukan oleh orang Mu’min setelah melaksanakan suatu amal ialah takut jikalau dia telah melakukan kelalaian, disedari mahupun tidak disedari. Maka dari itu dia takut jikalau amalnya tidak diterima. Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari mereka yang bertaqwa.” (al-Maidah: 27)
Di antara ungkapan yang sangat berkesan dalam masalah ini, yang dinisbatkan kepada Ali bin Abi Thalib adalah, “Suatu keburukan yang menyesakkanmu lebih baik di sisi Allah daripada kebaikan yang membuatmu ujub.”
Pengertian sepertt ini juga ditetapkan Ibn ‘Atha’illah di dalam Al-Hikam, beliau berkata, “Boleh jadi Allah membuka pintu ketaatan bagimu, tetapi tidak membuka pintu penerimaan amal bagimu. Boleh jadi Allah mentaqdirkan kederhakaan ke atas dirimu, lalu kederhakaan itu menjadi sebab yang menghantarkan ke tujuan. Kederhakaan yang membuahkan ketundukan dan kepasrahan lebih baik daripada ketaatan yang membuahkan ujub dan kesombongan.”
Dari sini al-Quran memperingatkan agar tidak menyertai sedekah dengan menyebut-nyebut sedekah itu dan ucapan yang menyakitkan, kerana dikhuatirkan justeru menggugurkan pahala yang dihilangkan pengaruhnya. Allah berfirman yang bermaksud:
“Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan suatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekah kamu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya kerana riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan bagi orang itu adalah seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu jadilah ia bersih (tidak bertanah).” (al-Baqarah: 263-264)
Rasulullah s.a.w juga memperingatkan ujub dan menjadikannya termasuk hal-hal yg merosak. Ibn Umar meriwayatkan dari Baginda yang bermaksud:
“Tiga perkara yang merosak dan tiga perkara yang menyelamatkan. Sedangkan perkara-perkara yang merosak adalah kedekut yg ditaati, hawa nafsu yang diikuti dan ujub seseorang terhadap dirinya.” (HR Imam at-Thabrani, hadith hasan dlm Shahih al-Jami’ as-Shaghir, no. 3045)
Al-Quran telah mengisahkan kepada kita kejadian yang dialami kaum Muslimin pada waktu Perang Hunain. Allah telah memberikan kemenangan kepada mereka sewaktu Perang Badar, padahal mereka sama sekali tidak lah kuat untuk menang. Allah juga memberikan kemenangan kepada mereka pada Perang Khandaq, yang sebelum itu pandangan mereka meredup, hati mereka naik ke atas hingga sampai ke tenggorokan, mereka menduga yang bukan-bukan terhadap Allah dan mereka tergoncang dengan hebat. Allah juga memberikan kemenanagn kepada mereka pada waktu Perang Khaibar dan Fathu Makkah. Tetapi pada waktu Perang Hunain mereka menjadi ujub kerana jumlah mereka yang banyak. Ternyata jumlah yang banyak ini tidak memberi manfaat apa-apa, hingga mereka pasrah kepada Allah. Mereka pun menyedari bahawa kemenangan datang hanya dari sisi Allah. Dia berfirman yang bermaksud:
“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai kaum Mu’min) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, iaitu pada waktu kamu menjadi sombong kerana banyaknya jumlah kamu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepada kamu sedikit pun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit oleh kamu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada RasulNya dan kepada mereka yang beriman.” (at-Taubah: 25-26)
Orang Mu’min yang sedar adalah mereka yang menyerahkan segala urusannya hanya kepada Allah, lalu percaya bahawa kemenangan hanya datang dari sisiNya. Firman Allah:
“Dan kemenangan itu hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Aali Imran: 126)
Kemuliaan juga datang hanya dari sisiNya:
“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu.” (Fathir: 10)
Taufiq kepada hal-hal yang baik juga berasal dari pertolongan Allah. FirmanNya:
“Dan tidak ada taufiq bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah.” (Hud: 88)
Hidayah hanya datang dari sisiNya:
“Barangsiapa yang disesatkanNya, maka kamu tidak boleh mendapatkan seorang pemimpin pun yang datang yang mampu memberikan petunjuk kepadanya.” (al-Kahfi: 17)
Dikatakan dalam sebuah syair:
“Andaikan Allah tiada mempedulikan kehendakmu
Nescaya tidak akan ada pilihan bagi semua manusia
Andaikan Dia tidak memberi petunjuk jalanmu
Nescaya kau akan tersesat sekali pun langit ada di sana“
* Ketiga Belas: Peringatan Agar Membersihkan Diri
Al-Quran telah memperingatkan untuk membersihkan diri dari pujian dan sanjungan ke atas dirinya, sebagaimana firmanNya:
“Dia lebih mengetahui tentang (keadaan) kamu, ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih dalam janin perut ibumu. Maka janganlah kamu mengatakan diri kamu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa.” (an-Najm: 32)
Allah mencela orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menganggap dirinya suci. Firman-Nya yang bermaksud:
“Apakah kamu tidak memerhatikan orang yang menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah membersihkan sesiapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak dianiaya sedikit pun.” (an-Nisa: 49)
Hal ini terjadi kerana mereka berkata, seperti yang dijelaskan Allah yang bermaksud:
“Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.” (al-Maidah: 18)
Perkataan mereka ini disanggah dengan firman-Nya yang bermaksud:
“Tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya. Dia mengampuni sesiapa yang dikehendaki-Nya dan menyeksa siapa yang dikehendaki-Nya. Dan, kepunyaan Allah-lah kerajaan di antara keduanya, dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).” (al-Maidah: 18)
Orang yang telah melakukan sesuatu amal soleh , tidak boleh mempamerkan amalnya itu, kecuali jika untuk menyampaikan nikmat Rabb-Nya:
“Dan terhadap nikmat Rabb-mu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).” (ad-Dhuha: 11)
Selain itu ia bertujuan untuk memancing orang lain agar mengikutinya. Sabda Baginda yang bermaksud:
“Barangsiapa membuat sunnah yang baik, maka dia mendapat pahala sunnah itu dan pahala orang yang mengerjakannya.” (HR Imam Muslim)
Dibolehkan juga jika bertujuan untuk membela diri kerana ada tuduhan yang dilemparkan kepadanya, padahal dia tidak bersangkut-paut dengan tuduhan tersebut, atau mungkin ada sebab-sebab lain. Semua itu diperbolehkan bagi orang yang batinnya sudah kuat kerana Allah semata dan bukan kerana tujuan yang bukan-bukan serta tidak tergolong pada ujub, tidak bertujuan mencari sanjungan dari orang lain dan mendapatkan kedudukan di kalangan masyarakat. Namun memang jarang orang yang bebas dari tujuan ini.
Orang Islam harus waspada, jangan sampai ujub terhadap diri sendiri, kerana kebaikan dan keshalihan yang dilakukannya, atau keyakinan bahawa hanya dialah yang beruntung sedang yang lain merugi, atau dia dan jamaahnyalah yang layak disebut al-firqah an-najiyyah (golongan yang selamat) sedangkan semua kaum Muslimin rosak, atau hanya merekalah yang layak disebut thaifah manshurah (kelompok yang mendapat pertolongan) sedangkan yang lain dibiarkan.
Pandangan terhadap diri sendiri seperti ini adalah ujub yang merosak, dan pandangan terhadap orang-orang Islam sepertt itu adalah pelecehan yang menghinakan.
Dalam sebuah hadith shahih disebutkan: “Jika seseorang berkata ‘Manusia telah rosak’, maka dialah yang lebih rosak daripada mereka.” (HR Imam Muslim)
Hadith ini diriwayatkan dengan bacaan ‘ahlakuhum’, dengan pengertian bahawa justeru dialah yang lebih banyak dan lebih cepat menimbulkan kerosakan, kerana dia terpedaya oleh diri sendiri, congkak terhadap amalannya dan melecehkan orang lain. Dengan bacaan dan makna seperti ini, bererti dialah yang menyebabkan kerosakan mereka, kerana dia berasa lebih unggul dari mereka dan juga membuatkan mereka berputus asa terhadap rahmat Allah.
Al-Imam an-Nawawi r.a. berkata, “Larangan ini ditujukan kepada orang-orang yang berkata seperti itu, kerana ujub terhadap diri sendiri, mengecilkan orang lain dan berasa dirinya lebih unggul dari mereka. Ini adalah perbuatan yang diharamkan. Tetapi jika perkataan seperti itu disampaikan kerana memang ada kekurangan dalam pengamalan agama mereka atau kerana rasa prihatin terhadap situasi mereka dan juga situasi agama mereka, maka hal itu tidak apa-apa”.
Inilah yang ditafsir dan dihuraikan oleh para ulama, seperti yang dikatakan oleh Malik bin Anas, al-Khattabi, al-Humaidi dan lain-lainnya.
Dalam hadith lain disebutkan, yang bermaksud:
“Cukuplah seseorang disebut buruk jika dia mencela saudara Muslimnya.” (HR Imam Muslim)
Sebab di antara orang Islam atas orang Islam lainnya adalah dilarang menzalimi, menghinakan dan melecehkannya. Tidak mungkin seseorang mencela saudaranya sendiri, sedangkan mereka ibarat dua cabang yg melekat di satu pohon yg sama.