"Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui." (Al-Baqarah: 169).
“Wahai orang beriman, jika datang kepada kamu seorang fasik membawa sesuatu berita, maka selidik (untuk menentukan) kebenarannya, supaya kamu tidak menimpakan sesuatu kaum dengan perkara yang tidak diingini dengan sebab kejahilan kamu (mengenainya) sehingga menyebabkan kamu menyesali perkara yang kamu lakukan.” (Surah al-Hujurat, ayat 6)
Di kemaskini post pada 04/02/2021 Pada jam 23:40pm Kuala Lumpur

Friday, February 4, 2011

Derita Mesir Dari Naser Hingga Mubarak

http://us.images.detik.com/content/2011/02/02/159/egypt2dalam.jpg
Jakarta - Perjalanan kekuasaan di Mesir selalu diwarnai aksi penggulingan. Sejak merdeka secara terbatas dari jajahan Inggris 1922,  belum pernah suksesi pimpinan Mesir dilakukan secara wajar alias melalui pemilihan yang damai.
Saat Mesir masih berbentuk kerajaan konstitusional di bawah Imperium Osmani, Raja Farouq, yang berasal dari dinasti Ali Pasha digulingkan pada 23 Juli 1952. Penggulingan Farouq dilakukan Gamal Abdel Naser, Anwar Sadat dan Mohammad Naguib. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Revolusi 23 Juli, yang akhirnya dijadikan Hari Nasional Mesir.
Sejak itu Mesir berubah menjadi republik setahun kemudian, 18 Juli 1953, dengan Jenderal Mohammad Naguib sebagai Presiden. Tapi pemerintahan Naguib tidak berjalan lama. Pasalnya, belum genap setahun, 25 Februari 1954, Jenderal Mohammad Naguib digulingkan oleh koleganya, Gamal Abdel Naser.
Naser yang merupakan mantan pimpinan Angkatan Bersenjata Mesir menjalankan pemerintahan dengan sangat otoriter. Semua lawan-lawan politiknya tidak bisa berkutik dibuatnya. Jangan heran kalau dua tahun kemudian ketika digelar pemilihan presiden, Naser dengan mudah bisa melenggang. Hal ini disebabkan hanya dia satu-satunya calon yang ada alias calon tunggal.
Begitu berkuasa secara penuh Naser berupaya membangkitkan Nasionalisme Arab dan Pan Arabisme, menasionalisasi terusan Suez yang mengakibatkan krisis Suez yang membuat Mesir berhadapan dengan Perancis, Inggris dan Israel yang memiliki kepentingan terhadap terusan itu.
Krisis ini berakhir dengan dikuasainya terusan Suez oleh Mesir berdasarkan keputusan internasional. Setelah itu, Naser gencar membangun proyek infrastruktur besar-besaran, dengan bantuan pemerintah Uni Soviet (kini Rusia).
Setelah 17 tahun memimpin, Naser sebenarnya sudah berniat mengundurkan diri dari dunia politik. Terutama pasca kekalahan Mesir dalam Perang Enam Hari dengan Israel pada tahun 1967. Namun para pendukungnya tetap ngotot meminta Naser untuk
tetap maju. Naser pun maju sebagai calon tunggal dan terpilih kembali sebagai presiden.
Naser akhirnya berhenti dari jabatannya sebagai peresiden pada 1970, ketika dia meninggal akibat penyakit jantung yang dideritanya. Akhirnya estafet kekuasaan Mesir jatuh ke tangan Anwar Jenderal Besar Mohammed Anwar Al Sadat, yang saat
itu menjabat sebagai Wakil Presiden Mesir.
Sejak resmi memimpin Mesir 15 Oktober 1970, sistem pemerintahan yang militeristik juga dijalankan Sadat. Begitu juga dengan sikap pemerintahan Mesir terhadap Israel. Sadat dikenal sangat berani dalam menghadapi pasukan zionis yang didukung Inggris dan Prancis. Peperangan dengan Israel itu akhirnya dilakukan Sadat pada 1973, yang dikenal dengan Perang Yom Kippur.
Dalam peperangan tersebut Mesir berhasil merebut kembali semenanjung Sinai, yang dicaplok Israel ketika krisis Terusan Suez 1956 dan Perang Enam Hari. Kemenangan itu kemudian membuat pihak barat dan Israel mau diajak berunding dalam Perjanjian Camp David, yang digagas Jimmy Carter dan Henry Kissinger.
Namun sekalipun berhasil merebut kembali bukit Sinai dan Jerusalem Timur, hasil perjanjian Camp David ditentang kaum fundamentalis dan pergerakan Islam, baik di negara-negara Arab maupun di dalam negeri Mesir. Sebab Sadat dinilai telah mencederai masyarakat Arab karena mau berunding dengan Israel. Apalagi setelah itu sikap Sadat terlihat toleran dengan Israel dengan berkunjung ke negara zionis tersebut pada 1977.
Kekecewaan ini sempat menimbulkan gejolak di dalam negeri Mesir. Organisasi pergerakan Islam di Mesir mulai sering mengkritisi kepemimpinan Sadat. Tapi kritikan para aktivis Islam itu ditanggapi dengan sikap represif oleh Sadat.
Banyak anggota pergerakan Islam, yang dimotori kalangan pelajar dan mahasiswa ditangkapi. Penangkapan dan penahanan itu menyebabkan Sadat dikecam di seluruh dunia atas pelanggaran HAM yang dilakukannya.
Tapi penangkapan dan penahanan yang dilakukan Sadat tidak membuat para penentangnya surut. Pada 6 Oktober 1981, dalam sebuah parade militer Anwar Sadat akhirnya ditembak mati oleh peserta parade militer. Pelakunya merupakan anggota Jihad Islam, organisasi muslim Mesir berhaluan keras yang menentang perjanjian damai Mesir dengan Israel.
Anwar Sadat kemudian digantikan oleh Wakil Presiden Hosni Mubarak. Pria kelahiran Kafr-El Meselha, Al Monufiyah, 4 Mei 1928, resmi jadi Presiden Mesir 14 Oktober 1981. Mantan Komandan Angkatan Udara Mesir itu saat memerintah juga dikenal sangat otoriter.
Di bawah Konstitusi Mesir 1981, Presiden Mubarak memiliki kuasa yang luas atas Mesir. Konstitusi Mesir 1981 merupakan keadaan darurat yang diberlakukan sejak kelompok Islam garis keras membunuh Presiden Anwar Sadat pada 1981.
Sejak Mubarak jadi presiden banyak anggota organisasi Islam garis keras yang ditangkapi dan ditahan. Mereka umumnya selalu memprotes sikap Mubarak yang berusaha netral terhadap konflik Israel-Palestina.
Setahun terakhir bahkan Mubarak juga menangkapi sejumlah aktivis yang menyerukan reformasi di pemerintahan Mesir. Mereka bukan berasal dari organisasi Islam berhaluan keras namun Mubarak tetap menggunakan konstitusi 1981 sebagai dalil penangkapan para aktivis tersebut.
Teranyar Mubarak juga melakukan tindakan refresif dalam menyikapi aksi demo besar-besaran terhadap dirinya. Tidak kurang 100 pengunjuk rasa tewas dalam aksi demo yang berlangsung sejak awal Januari 2011. Sementara ratusan orang lainnya luka-luka akibat ditembak dan dipukuli aparat keamanan Mesir.
Pergantian pemimpin Mesir nyaris tidak memperngaruhi kehidupan rakyatnya. Selama pemerintahan Naser, Sadat dan Mubarak, rakyat Mesir hidup dalam kekuasaan yang otoriter. "Ketiganya dari militer. Ketiganya otoriter dengan gayanya masing-masing," kata pengamat politik Timur Tengah dari Universitas Indonesia (UI) Hamdan Basyar.
Kini nasib Hosni Mubarak sedang di ujung tanduk. Mubarak dipastikan tidak akan lagi memimpin Mesir pada pemerintahan mendatang. Apakah penggantinya nanti juga berasal dari kalangan militer? Dan apakah presiden Mesir mendatang tetap akan
berlaku represif terhadap pengritiknya? Kita tunggu saja. (ddg/iy)

No comments: